EDITORIAL
Sudah tiga hari salah satu Koran harian lokal di Provinsi NTT, Victory News (VN) menulis tentang Humas Setda Provinsi NTT. Koran milik Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat itu menyoroti tentang kinerja Kepala Biro Humas hingga perilaku diskriminatif yang dilakukan terhadap media yang meliput berbagi kegiatan di Lingkup Pemerintah Provinsi NTT. Sebagai Corong Pemerintah Provinsi, Biro Humas memang menjadi barometer tercitra baik atau buruknya Pemerintahan maupun Gubernur dan jajarannya. Humas menjadi pihak yang bertanggungjawab terhadap hitam putih pemberitaan tentang semua ide dan mimpi Gubernur dalam membangun NTT serta memenuhi janji politik pasangan Victory-Joss.
Ada yang menarik dari pemberitaan berseri dari harian Victory News selama tiga hari ini yakni tentang anggaran. Ketika Humas dipimpin oleh Marius Jelamu, ada kebijakan yang diambil yakni mencetak buku dan majalah dari anggaran yang tersedia di Humas. Padahal, Marius Jelamu selalu bilang bahwa masyarakat membutuhkan berita yang punya audio visual sehingga media televisi menjadi andalan ketika gubernur turun ke kabupaten. Bahkan istilah media lokal dan internasional menjadi trend dikalangan pewarta Provinsi NTT. Istilah itu merujuk pada pernyataan Karo Humas Marius Jelamu yang terlihat diskriminatif dan memilah media. Sementara anggaran kerjasama yang disetujui DPRD adalah untuk semua media yang turut andil dalam pembangunan NTT melalui berbagai pemberitaan.
Karo Humas yang harusnya menjadi jembatan yang mempertemukan Gubernur dan Media sepertinya tidak mampu melaksanakan tugasnya secara baik dan adil. Sebab jika dia mampu merangkul semua media maka tidak aka nada tudingan bahwa Karo Humas pilih kasih dan diskriminatif. Hal sederhana yang diangkat oleh VN adalah soal Jumpa Pers (JP) yang mana Humas hanya menggunakan undangan untuk media tertentu. Jumlah media yang diundang dengan anggaran yang disiapkan juga jika ditilik patut diduga ada yang kurang beres. Sebab menurut sumber VN, setiap kali kegiatan JP yang dilakukan oleh Humas disediakan anggaran 13 juta rupiah. Dalam program, disiapkan 22 kali Jumpa Pers dengan dana sebesar 286 juta rupiah. Setiap kali Jumpa Pers ada transport untuk wartawan 100 ribu rupiah per orang. Hingga bulan Oktober baru enak kali Jumpa Pers. Lantas bagimana dengan anggaran untuk cetak buku dan majalah? Apakah buku dan majalan yang dicetak secara periodik oleh Humas ini efisian atau sekedar mengahbiskan anggaran? Apakah buku dan majalah milik Humas itu juga masuk dalam jangkauan internasional dan bersifar audia visual seperti alasan Karo Humas? Hanya mereka disana yang mengetahuinya, semnetara yang lain hanya mencium bau amis tanpa melihat wujud nyata.
Desakan agar Gubernur mencopot Karo Humas bukan tanpa alasan. Sebab Karo Humas boleh berganti orang dan rezim, tapi wartawan yang meliput di Lingkup Pemrov NTT berhiaskan wajah lama. Para kuli tinta sudah paham benar apa yang dilakukan di Humas NTT. Terkait anggaran di Humas, wartawan pernah melaporkan Karo Humas ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT. Wartawan meminta Kejati untuk menyelidik anggaran untuk media di Humas. Aneh memang, Biro Humas yang harusnya menjadi ibu kandung dari para wartawan sering berubah menjadi ibu tiri yang tidak adil. Humas tak jarang menjadi pembelah para wartawan dengan strategi devide et impera. Semoga Humas mampu berbenar dan menyadari bahwa Wartawan adalah mitra kerja. Mereka tidak menuntut jumlah dan nilai tapi meminta keadilan sebagai anak kandung Flobamora. (*)