Editorial
Seputar-ntt.com – Membaca komentar Bupati Sabu Raijua, Nikodemus Rihi Heke, (NRH) pada salah satu media Online, awalnya sempat kagum karena berita itu dimulai dari sebuah gambar menarik yang menampilkan berbagai destinasi wisata di pulau sejuta lontar itu. Menjadi sangat yakin lagi karena disitu juga ditampilkan gambar sang bupati yang sedang tersenyum lebar sambil bertepuk tangan pertanda suatu kegembiraan besar. Namun ketika mencoba membaca berita itu lebih jauh, yang diperoleh dari berita itu adalah sebutan nama berbagai destinasi yang juga salah satunya sama dengan nama kesayangan Nikodemus Rihi Heke yaitu Gua Ma Balla. Disisi lain, Mantan Wakil yang kini jadi Bupati itu juga curhat tentang kritikan yang dialamatkan kepada dirinya mengenai infrastruktur yang tidak siap. Dia juga menjelaskan tentang manfaat besar yang akan diperoleh para wisatawan ketika berkunjung ke Sabu Raijua, yakni bisa mendapat oleh-oleh tenunan Sabu yang merupakan karya intelektual masyarakat di Bumi Hawu Miha ini. Itulah inti komentar Bupati Sabu Raijua pada media online. Bisa baca beritanya di link ini http://www.lensantt.com/mimpi-mabala-jadikan-sarai-kabupaten-pariwisata/
Sebagai masyarakat Sabu Raijua, tentunya berharap agar Festival Kelaba Maja yang akan dilaksanakan di Kecamatan Hawu Mehara, sebenarnya lebih diarahkan kepada manfaat besar yang akan dinikmati masyarakat dari sisi ekonomi. Kegiatan itu mestinya merupakan Trigers yang akan menggeliatkan ekonomi mikro yang segera dinikmati oleh orang kecil itulah yang disebut Trickle Down Effect. Bupati Rihi Heke memberi contoh tentang tenunan yang akan dibeli oleh wisatawan. Itu salah satu contoh kecil yang boleh jadi, wisatawan tidak akan beli karena mereka merasa barang yang sama juga ada ditempat lain malah bukan hanya ditemukan di Art Shop saja tetapi dijual dipinggir-pinggir jalan. Bisa saja wisatawan berpendapat untuk apa tenteng jauh-jauh dari Sabu Raijua pada hal ditempat lain juga ada. Kecuali ada pertimbangan lain, misalnya harga jauh lebih murah. Selain itu Bupati tidak lagi menyebut barang atau kenikmatan lain yang akan diperoleh baik oleh wisatawan maupun oleh masyarakat Sabu Raijua, beliau hanya mengatakan dan lain-lain saja.
Masyarakat Sabu Raijua tentunya tidak menghendaki jika mimpi Bupati sebagai pemimpin hanya sampai pada papalele tenunan ikat Sabu Raijua saja, sementara potensi lain yang mendatangkan keuntungan bagi masyarakat diwilayah yang semi arit itu tak terlintas dalam angan Bupati. Membangun Pariwisata Sabu Raijua atau menggelar sebuah hajatan faestival wisata, bukan seperti mimpi semalam lalu kaget bangun karena ada kicauan burung pertanda hari telah berganti. Jika Pemahaman seorang Bupati bahwa dunia pariwisata itu hanya sebatas kedatangan wisatawan ke daerah itu, atau sekedar hilir mudik para penikkmat wisata tanpa memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat Sabu Raijua, maka jangan harap masyarakat akan mendapatkan rembesan dari mimpi sang bupati dalam membangun Pariwisata di Sabu Raijua. Jika Bupati paham benar akan hal ini, maka sebenarnya beliau tidak akan tergesa-gesa melakukan event tersebut, karena berbagai fasilitas yang merupakan kebutuhan pokok yang akan menjamin keamanan sekaligus kenyamanan dan kebahagian wisatawan yang juga tentu saja berkaitan langsung dengan pemasukan dan pendapatan bagi petani kecil semuanya dalam kondisi tak siap. Boleh jadi akibat karena kondisi ini justru citra buruk tentang Sabu Raijua akan dibicarakan dimana-mana ketika para wisatawan mengalami situasi dan kondisi yang tak nyaman lantaran semua fasilitas serba kurang dan terbatas. Tentu ini tak berimbang dengan promosi yang hebat tetapi mendapati kenyataan yang sangat buruk.
Katakan saja fasilitas yang sangat dibutuhkan misalnya hotel, kuliner atau rumah makan, toko souvenir, Salon dan SPA, alat transportasi, belum lagi unit fasilitas umum di seputaran lokasi seperti toilet dan lain-lain yang merupakan Urgent Needs. Jika saja karena promosinya hebat lalu wisatawan berbondong-bondong ke Pulau Sabu, katakanlah ada 500 orang saja yang datang, tentu mereka harus belanja kamar hotel. Bisa dibayangkan dengan kesiapan kamar hotel standar di Sabu yang tersedia berapa banyak, jika tidak terpenuhi mereka harus tidur dimana? apa Gua Mabala bisa dipake sebagai penginapan?. Jika fasilitas ini tidak siap maka selain tidak nyaman tentu saja citra jelek akan lahir dan dunia pariwisata Sabu Raijua akan terkubur. Butuh waktu lama untuk memulihkan citra itu. Demikian juga dengan rumah makan bisa dihitung berapa Rumah Makan yang layak, bisa melayani berapa banyak orang, berapa banyak hortikultura atau sayuran (sawi, tomat, cabe, terong dan lain-lain) daging, dan ikan milik petani dan nelayan yang laku jual sehingga uang beredar ditangan orang kecil. Jangan sampai hal ini terjangkau oleh pikiran Bupati. Pada akhirnya bukannya rakyat menikmati keuntungan malah masa depan pariwisata Sabu Raijua yang akan mati suri dan sulit untuk survive.
Jika ini yang terjadi, mungkin ada keuntungan tetapi dinikmati bukan oleh orang kecil tetapi justru uang muncrat (bahasa sabu Ru’e) dan ini yang disebut trickle Up efeck. Ide dan gagasan pembangunan Pariwisata di Sabu Raijua tidak boleh datang dengan tiba-tiba atau lahir dari mimpi seorang Bupati Nikodemus Rihi Heke semata, tetapi semuanya harus tertuang dalam visi dan misi MANDIRI jilid II. Keinginan untuk membangun Pariwisata Sabu Raijua atau menggelar ever festival Kelaba Maja, harusnya tidak serba gesa-gesa karena perhitungan untung rugi seperti yang terulas diatas. Tidak boleh terlalu buru-buru, sebab semua pembangunan yang hendak dilaksanakan termasuk membangun Pariwisata, bukanlah legenda Tangkuban Perahu yang mimpi malam lalu pagi jadi. Bukan juga sekedar melafal kun fayakun, jadi maka jadilah.
Dalam melanjutkan kepemimpinan di Sabu Raijua pasca Marthen Dira Tome bermasalah hukum, tidak seenak perut seorang Nikodemus Rihi Heke semata dalam mengelola anggaran untuk program yang tidak diprioritaskan. Apalagi yang tidak ada didalam visi dan misi MANDIRI jilid II. Visi misi itu sudah ditetapkan sebagai peraturan daerah (PERDA) dalam bentuk RPJMD. Jika ini tidak dilakukan maka ada efek hukum yang harus ditanggung oleh Nikodemus Rihi Heke. Demikian juga, masyarakat bisa saja menuntut hak-haknya, jika Visi dan Misi yang dijanjikan saat kampanye tidak dilaksanakan oleh Nikodemus Rihi Heke sebagai Bupati. Sayangnya masyarakat Sabu Raijua masih belum sadar akan hal ini, bahwa semua yang dilaksanakan harus di pertanggung jawabkan dan akan dimuat dalam laporan akhir masa jabatan.
Yang menjadi pertanyaan, kenapa Nikodemus Rihi Heke seperti ketakutan berurusan dengan garam, Pabrik Air Minum Dalam Kemasan, OASA dan Pabrik rumput laut yang nyata-nyata berkonstribusi positif terhadap pembangunan yang Pro Growth, Pro Job, Pro Poor dan Pro PADS. Apakah karena ada isu pencurian garam besar-besaran pada tahun 2017 maka tambak garam maupun pabrik garam yodium sengaja di biarkan untuk tidak di urus dan dibiarkan terlantar dan hancur? Atau mungkin ada rencana lain ingin yakni merubah Branding dari garam NATAGA menjadi NAPURU? Hanya Tuhan dan Ma Balla yang tahu. Seandainya NRH ingin membuat program lain diluar visi-misi MANDIRI jilid II maka saatnya bukan sekarang, sebab ini masih masa kempimpinan Mandiri Jilid II dengan visi dan misi yang harus dilaksanakan. Jika nanti Masyarakat Sabu Raijua memberi kepercayaan lagi kepada Nikodemus Rihi Heke saat Pilkada 2020 nanti untuk kembali memimpin Sabu Raijua, maka pada saat itu barulah Ma Balla bisa jalan dengan visi dan misi sendiri. Tugas Nikodemus Rihi Heke sebagai Bupati saat ini adalah melanjutkan visi, misi dan program Mandiri Jilid II dan tidak berhak membuat visi-misi dan program baru lagi. Penuhilah janji yang dahulu sebelum membuat janji-janji baru, sebab janji politisi sama seperti parfum isi ulang, wangi tapi palsu. (*)