Labuan Bajo, seputar-ntt.com – Sejak tahun 1990, para peneliti telah melakukan penelitian di Pulau Komodo dan mendapatkan habitat Komodo masuk dalam kategori rentan. Sembilan tahun kemudian atau tahun 2019, peneliti kemudian melakukan penelitian kembali terhadap komodo dan habitatnya dan hasilnya mencengangkan, habitat komodo masuk dalam kategori terancam. Untuk itu maka konservasi dan pembatasan kunjungan ke Pulau Komodo adalah hal yang harus dilakukan segera, sehingga kehidupan hewan purba di Kabupaten Manggarai Barat itu bisa tetap terjaga dan menjadi kebanggaan warga Nusa Tenggara Timur.
Hal ini disampaikan oleh Dr. Irman Firmansyah, S.Hut, M.Si pada Jumat, 5 Agustus 2022. Irman Firmansyah bersama tim melakukan kajian mengenai Daya Dukung dan Daya Tampung Berbasis Jasa Ekosistem Di Taman Nasional Komodo Khusunya di Pulau Komodo dan Pulau Padar.
“Untuk kita ketahui bersama bahwa tahun 90-an dulu komodo ini kan masuk ke dalam kategori rentan. kemudian tahun 2019 yang dipublish tahun 2021 ini sudah masuk kategori terancam. Ada yang menyampaikan bahwa jumlah Komodonya masih bertambah. Nah justru yang mengalami tekanan ini adalah habitatnya jadi kelimpahannya yang berkurang. Kalau populasi hanya jumlahnya saja sementara kelimpahan mempertimbangkan habitatnya. Jadi habitat inilah yang semakin berkurang bahkan beberapa peneliti sudah ada yang melakukan penelitian hal tersebut,” papar Irman Firmansyah.
Lebih jauh Irman Firmansyah melanjutkan, tekanan kelimpahan khususnya ekosistem yang nyaman untuk komodo sudah semakin berkurang dan masuk dalam zona kritis. Tekanan kelimpahan ekosistem tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti perubahan iklim. Faktor yang sangat serius dan perlu diperhatikan adalah faktor aktivitas manusia dan penggunaan energi melalui transportasi laut maupun udara.
“Taman Nasional Komodo khususnya Pulau Komodo dan Pulau Padar banyak sekali satwa. Itulah yang menjadi satu kesatuan ekosistem. Jadi tidak hanya komodo tapi satwa-satwa lainnya yang perlu dijaga kelestariannya sehingga komodo yang menjadi hewan purba yang masih hidup disana tidak mengalmi tekanan lantara ekositemnya mengalami tekanan. Nah, peran pemerintah untuk mengatur kehidupan satwa disana sangat diperlukan. Salah satu yang harus diatur dan diurus adalah konservasi,” jelas Irman Firmansyah.
Irman Firmansyah menjelaskan, komodo atau Varanus komodoensis adalah spesies endemik yang hidup secara liar di Pulau Komodo dan Pulau sekitarnya. Hewan purba yang sudah ada sejak 40 juta tahun sebelum masehi ini semakin lama spesies ini terancam oleh dampak perubahan iklim. Komodo telah berpindah kategori dari “Rentan” menjadi “Terancam Punah” dalam Daftar Merah IUCN pada bulan September 2021.
Untuk itu, kata Irman Firmasyah, maka perlu ada daftar merah memberi informasi tentang jangkauan, habitat dan ekologi, penggunaan, ancaman, serta tindakan konservasi. Komodo merupakan hewan Unik yang perlu dilestarikan hingga generasi kedepannya. Merubah cari pandang bahwa komodo bukan objek wisata tetapi sebagai subjek. Bukan komodo yang menyesuaikan terhadap terhadap manusia tetapi jumlah pengunjung yang menyesuaikan terhadap keberadaan komodo dan ekosistemnya. Daya dukung dan daya tampung yang menjadi dasar kemampuan komodo dan ekosistemnya. Wisata di TNK bukan wisata oriented tetapi wisata Survival.
“Kita belajar dari konservasi panda. Yang dilakukan oleh pemerintah disana untuk menjaga panda dari kepunahan adalah memberikan perlindungan sangat ketat terdapat penjaga khusus. Mereka dokter khusus mempelajari anatomi hingga peredaran darah. Wisatawan di batasi 8.000 orang pada saat Populasi hanya tersisia 1.800 panda. Lalu panda raksasa tidak lagi digolongkan sebagai hewan “terancam punah” pada tahu 1990, tetapi statusnya “masih rentan” pada tahun 2016. Biaya menyewa Panda adalah Rp14 Milyar per tahun dan mereka selalu melakukan refleksi kesuksesan konservasi. Nah ini yang perlu kita belajar. Komodo itu adalah harta yang kita harus jaga bersama keberlanjutnnya,” harap Imran Firmasyah.
Pertumbuhan pengunjung ke Pulau Komodo dan Pulau Padar kata, Irman Firmasyah mengalami lonjakan yang cukup tinggi setiap tahunnya. Pada tahun 2013, pengunjung yang masuk ke Pulau Komodo mencapai 80.626 wisatawan. Lalu melonjak drastis pada tahun 2019 menjadi 221.703 wisatawan. Padahal tahun 2019, Pandemi Covid-19 sudah mulai menyerang dan kunjungan wisatawan mulai sepi. Pada tahun 2022 ini, dimana Covid mulai mereda dan pelonggaran sudah dilakukan, maka jumlah kunjungan wisatawan akan meningkat drastis. Dengan demikian, maka pembatasan dan konservasi adalah langkah yang tepat untuk menjaga komodo supaya bisa hidup dengan aman dan nyaman di habitatnya.
Dampak ekonomi dari wisata di Pulau Komodo dan daya dukung yang ada di Manggarai Barat, juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Untuk Jasa Hotel, Resto dan Operator pada tahun 2013 memperoleh 264,4 miliar. Lalu pada tahun 2019 meningkat pendapatannya menjadi 533,3 miliar. Untuk PNBP sendiri pada tahun 2013, memperoleh 4,4 miliar dan pada tahun 2019 meningkat menjadi 38 miliar.
“Kunjungan wisatawan menggerakkan ekonomi di Manggarai Barat dan meningkat pendapatanya dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013 memperoleh 270 miliar dan pada bulan September 2019 memperoleh 533,3 miliar. Dampak ekonominya meningkat tajam setiap tahun,” ungkap Imran Firmansyah.
Imran Firmansyah menegaskan, tanpa pembatasan kunjungan ke Pulau Komodo, Pulau Padar, kawasan sekitar sesuai daya dukung daya tampung lingkungan hidupnya, terdapat kehilangan jasa ekosistem yang sangat tinggi. Apabila dilakukan pembatasan terhadap kunjungan, potensi kehilangan nilai jasa ekosistem dapat ditekan dan nilai manfaat sosial ekonomi yang diterima cenderung lebih meningkat dan dapat mengimbangi minimnya kehilangan nilai jasa ekosistem.
“Nah jasa ekosistem itu termasuk tempat tinggal dan ruang hidup, estetika, rekreasi dan ecotourism, biodiversitas, sumber daya genetik, pengaturan iklim, produksi primer, air bersih. Nah itulah yang dibiayai dari jasa konservasi. Biaya konservasi itu tidak murah, tapi kita harus lakukan untuk keberlanjutan hidup komodo di habitatnya,” pungkas Imran Firmasyah. (*)