PN Kalabahi Gelar Sidang Perdana Gugatan Praperadilan Alberh N Ouwpoly Terhadap Kejari Alor

  • Whatsapp

Kalabahi, seputar-ntt.com – Pengadilan Negeri (PN) Kalabahi menggelar sidang perdana gugatan praperadilan yang diajukan Alberth N Ouwpoly, tersangka kasus dugaan korupsi dana DAK 2019 Dinas Pendidikan Kabupaten Alor terhadap Kejaksaan Negeri (Kejari) Alor, Jumad, 21/1/2022 pagi.

Sidang tersebut dipimpin hakim Datu Anggar Jaya Ningrat, SH dan dihadiri kuasa hukum tersangka yang juga Pemohon, Yusak Tausbele, SH, M.HU dan Mario Aprio A. Lawung, SH. MH. Sementara pihak Kejari Alor (Termohon) diwakili Kasi Datun, Rudi kurniawan, SH, MH dan Kasi BB, Risky Romadhan, SH, MH.

Begini alasan-alasan permohonan praperadilan yang dibacakan kuasa hukum pemohon Mario Aprio A. Lawung, SH, MH.

1. Bahwa pada tanggal 14 Desember 2021, Termohon memanggil Pemohon berdasarkan Surat Bantuan Pemanggilan Saksi Nomor: B-1321/ N.3.21/Fd.I/12/2021 untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dalam Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Penyimpangan Dalam Kegiatan Pembangunan Perpustakaan Sekolah, Kegiatan Rehabilitasi Sedang Berat Perpustakaan Sekolah, Kegiatan Pembangunan Laboratorium, Dan Ruang Praktikum Sekolah Dan Kegiatan Pengadaan Meubelair Sekolah Pada Dinas Pendidikan Alor Tahun Anggaran 2019. Selanjutnya berdasarkan Surat Panggilan Saksi dari Termohon tersebut, maka pada tanggal 16 Desember 2021, Pemohon menghadap Termohon dan memberikan keterangan sebagai saksi (Bukti P-1);

2. Bahwa setelah Pemohon memberikan keterangan sebagai saksi, maka Termohon menerbitkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: PRINT-05/N.3.21/Fd.1/12/2021 tanggal 16 Desember 2021 yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Penyimpangan Dalam Kegiatan Pembangunan Perpustakaan Sekolah, Kegiatan Rehabilitasi Sedang Berat Perpustakaan Sekolah, Kegiatan Pembangunan Laboratorium, Dan Ruang Praktikum Sekolah Dan Kegiatan Pengadaan Meubelair Sekolah Pada Dinas Pendidikan Alor Tahun Anggaran 2019. (Bukti P-2). Kemudian dilanjutkan dengan Penahanan terhadap Pemohon berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor: Print-05/N.3.21/Fd.1/12/2021, tanggal 16 Desember 2021;

3. Bahwa Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, dilanjutkan dengan penahanan karena disangka melanggar Pasal 2 ayat (1), jo Pasal 3 jo Pasal 18 Undang Undang RI Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;

4. Bahwa penetapan seseorang sebagai Tersangka yang disangka melakukan tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UndangUndang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP haruslah didasarkan atau didahului adanya “bukti permulaan” atau “bukti permulaan yang cukup” atau “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1 angka 14 UndangUndang Nomor: 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 angka 2 KUHAP menetapkan “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Demikian pula Pasal 1 angka 14 KUHAP menetapkan “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Kemudian Pasal 21 ayat (1) KUHAP menetapkan “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”.

5. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 21/PUUXII/2014, tanggal 28 Oktober 2014, halaman 98 menyatakan “bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP haruslah ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia). Hal ini berarti terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya tersebut, tidak diperlukan pemeriksaan calon tersangka. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pemeriksaan tersangka disamping dua alat bukti tersebut adalah untuk tujuan transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang, agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka sudah dapat memberikan keterangan yang seimbang dengan minimum dua alat bukti yang telah ditemukan oleh penyidik. Dengan demikian, berdasarkan alasan tersebut di atas, seorang penyidik dalam menentukan “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, “bukti yang cukup” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP dapat dihindari adanya tindakan sewenang-wenang, terlebih lagi dalam menentukan bukti permulaan yang cukup selalu dipergunakan untuk pintu masuk bagi seorang penyidik dalam menentukan seseorang sebagai Tersangka;

6. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 Oktober 2014 hanya memberikan makna terhadap “bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, bukti yang cukup” artinya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia). Namun Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maupun Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP tidak memberikan penjelasan tentang apakah sekurangkurangnya terdapat 2 (dua) alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP dapat dimaknai berkaitan dengan jumlah (kuantitas) alat bukti saja ataukah juga menyangkut penilaian terhadap kualitas atau relevansi 2 (dua) alat bukti dimaksud dengan unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka;

7. Bahwa oleh karena itu, untuk memaknai sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP hanya berkaitan dengan penilaian jumlah (kuantitas) ataukah juga berkaitan dengan penilaian terhadap kualitas atau relevansi 2 (dua) alat bukti dengan unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan kepada Tersangka, haruslah dicari penjelasannya dalam doktrin dan putusan-putusan pengadilan. Menurut Dr. Chairul Huda, SH.,MH, “Mahkamah Konstitusi memperketat persyaratan yang harus dipenuhi penyidik untuk melakukan penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan dengan mengurangi acuan yang mungkin digunakan oleh penyidik untuk melakukan hal itu, sehingga hal ini hanya berkorelasi dengan alat bukti yang menjadi acuan bagi hakim menyatakan seseorang bersalah melakukan tindak pidana. Namun demikian, pada sisi lain Mahkamah Konstitusi juga menentukan bahwa mekanisme pengendalian terhadap kewenangan penyidik dalam rangka mencari dan mengumpulkan bukti guna membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya, termasuk dalam menggunakan kewenangannya melakukan penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan tidak sepenuhnya berada dalam kendali penuntut umum, tetapi juga dalam kendali pengadilan, melalui hakim praperadilan”. Lebih lanjut ahli hukum pidana ini mengatakan “penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan harus didasarkan sekurang-kurangnya pada keterangan saksi dan surat atau keterangan saksi dan keterangan ahli atau adanya surat dan keterangan ahli. Bukti atau bukti permulaan atau alat bukti untuk dapat digunakan dalam penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan harus diperoleh menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang”;

8. Bahwa sedangkan berkaitan dengan kualitas atau relevansi bukti permulaan sebagai dasar penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan, Dr. Chairul Huda, SH.,MH mengatakan “…….dalam tataran penyidikan, penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan hanya dapat dilakukan jika secara substansial hasil penyidikan menunjukan adanya korelasi antara bukti dan bukti permulaan yang ada dengan tindak pidana yang dipersangkakan atau keadaan dimana seseorang diduga keras melakukan tindak pidana”;

9. Bahwa berdasarkan pandangan dari Dr. Chairul Huda, SH.,MH, maka dapat dipahami bukti permulaan yang cukup berupa sekurang-kurangnya terdapat 2 (dua) alat bukti yang dimaksudkan dalam Pasal 184 KUHAP, tidak hanya berkaitan dengan jumlah alat bukti yang dimiliki oleh penyidik sebagai dasar penetapan tersangka, melainkan juga dipersyaratkan bukti permulaan yang dimiliki oleh penyidik sebagai dasar penetapan tersangka haruslah relevan dengan unsur-unsur tindak pidana yang dipersangkakan kepada tersangka. Pandangan ini dibenarkan pula oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 65/PUU-VIII/2010, tanggal 08 Agustus 2011 yang memperluas pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26, angka 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP tidak terbatas pada orang yang memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Menurut Mahkamah Konstitusi, arti penting saksi bukan terletak pada apakah dia melihat, mendengar atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana melainkan relevansi kesaksian dengan perkara pidana yang sedang diproses”;

10. Bahwa konstruksi tentang relevansi antara keterangan saksi dengan perkara yang sedang diproses dalam penyidikan menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 65/PUU-VIII/2010, tanggal 08 Agustus 2011 tersebut, berlaku juga bagi bukti permulaan yang lain. Hal ini berarti tidak sekadar terdapat surat yang telah disita yang diperlukan untuk pembuktian tentang suatu sangkaan tindak pidana sehingga seseorang diduga keras melakukannya, tetapi secara substansial terdapat korelasi dengan unsur-unsur dari tindak pidana tersebut. Demikian pula halnya, keterangan ahli bukan semata-mata menyimpulkan tentang terjadinya suatu perbuatan atau adanya suatu keadaan, tetapi perbuatan dan keadaan itu berkorelasi dengan unsur-unsur dari tindak pidana yang dipersangkakan kepada tersangka;

Bahwa dengan demikian menurut Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 Oktober 2014 dihubungkan dengan pandangan Ahli Dr. CHAIRUL HUDA, SH.,M.Hum dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 65/PUU-VIII/2010, tanggal 08 Agustus 2011, dapat dipahami penetapan tersangka harus didasari bukti permulaan yang cukup yakni sekurang-kurangnya terdapat 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud Pasal 184 KUHAP, tidak hanya berkaitan dengan jumlah atau kuantitas alat bukti yang dimiliki penyidik melainkan diharuskan pula 2 (dua) alat bukti permulaan yang dimiliki oleh penyidik harus relevan dengan unsur-unsur tindak pidana yang dipersangkakan kepada tersangka. Hal ini berarti meskipun terdapat 100 orang saksi, 100 bukti surat dan 10 orang ahli dimiliki oleh penyidik tetapi keterangan saksi-saksi, ahli dan surat tersebut tidak memiliki relevansi dengan unsur-unsur tindak pidana yang dipersangkakan kepada tersangka maka tidak dapat dikategorikan sebagai bukti permulaan yang cukup sebagai dasar penetapan tersangka;

12. Bahwa oleh karena itu dalam permohonan praperadilan, Pengadilan Negeri yang berwenang tidak hanya menilai bukti permulaan yang dimiliki oleh penyidik sebagai dasar penetapan tersangka dari segi jumlah atau kuantitas, tetapi harus pula menilai kualitas bukti permulaan yang dimiliki penyidik sebagai dasar penetapan tersangka, apakah memiliki relevansi atau tidak dengan unsur-unsur tindak pidana yang dipersangkakan kepada tersangka. Penilaian kualitas bukti permulaan yang dimiliki oleh penyidik sebagai dasar penetapan tersangka, telah dipraktekan dalam Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 55/PID/Prap/2015/PN.Jkt.Sel, tanggal 09 Juli 2015, halaman 91-92 antara Dr. ILHAM ARIEF SIRAJUDDIN, MM selaku Pemohon melawan Komisi Pemberantasan Korupsi selaku Termohon. Pertimbangan hukum dari Hakim Praperadilan ini pada dasarnya menyatakan bahwa “…….Pengadilan akan mencermati bukti-bukti yang dimajukan Pemohon dan Termohon di persidangan kemudian menilai apakah tindakan Termohon yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka apakah sah menurut hukum ataukah tidak sah menurut hukum, maka Pengadilan harus ikut menilai materi pokok perkaranya, dimana berdasarkan surat panggilan saksi-saksi, Pemohon telah diduga melakukan tindak pidana melanggar Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memiliki unsur-unsur: 1. Setiap Orang, 2. Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, 3. Yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang unsur-unsurnya: 1. Setiap orang; 2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 3. Menyalahgunakan kewenangan, sarana atau kesempatan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; 4. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP yaitu orang yang melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan. Dimana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 Jo.UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut salah satu unsur intinya adalah merugikan keuangan negara. Menimbang bahwa sesuai bukti surat yang diajukan oleh Termohon yaitu Bukti T.30 yang sama dengan Bukti P-56 telah ada hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Nomor: 02/HP/XIX/03/2012, tanggal 27 Maret 2012 yang intinya dalam pelaksanaan Kerjasama Rehabilitasi Kelola dan Transfer untuk Instalasi Pengelolaan Air antara PDAM Kota Makasar dengan Pihak Ketiga periode tahun 2005 s/d tahun 2013 terdapat potensi kerugian PDAM Kota Makasar. Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut di atas, menurut Hemat Hakim Praperadilan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka sudah sesuai dengan prosedur dan memenuhi ketentuan minimal menemukan 2 (dua) alat bukti.”;

13. Bahwa demikian pula pertimbangan hukum Putusan Praperadilan Pengadilan
Negeri Surabaya Nomor: 25/Pid.Pra/2019/PN.Sby, tanggal 05 Agustus 2019
halaman 51-52, menyatakan “…………Pengadilan Negeri dalam menilai tentang sah atau tidaknya penetapan Para Pemohon sebagai Tersangka dalam permohonan praperadilan ini, akan mendasarkan pada 2 (dua) hal pokok, yaitu: 1. Apa saja alat-alat bukti yang diperoleh Termohon dalam penyidikan? 2. Apakah terdapat minimal 2 (dua) alat bukti sah dan memiliki relevansi dengan tindak pidana yang disangkakan kepada Para Pemohon”;

Bahwa berdasarkan tindak pidana yang disangkakan kepada Pemohon tersebut, maka bukti permulaan yang relevan dengan unsur “secara melawan hukum” pada Pasal 2 ayat (1) dan/atau unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” pada Pasal 3 Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sekurangnya 2 (dua) alat bukti yang membuktikan perbuatan Pemohon dalam kapasitasnya sebagai Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Alor/Kuasa Pengguna Anggaran pada Dinas Pendidkan Kabupaten Alor dalam kaitan dengan pengelolaan dana alokasi khusus (DAK) pendidikan Kabupaten Alor tahun anggaran 2019 TELAH MELAWAN HUKUM DAN MENYALAHGUNAKAN KEWENANGAN, KESEMPATAN ATAU SARANA YANG ADA PADANYA KARENA JABATAN ATAU KEDUDUKAN dan HASIL PERHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang menurut hukum;

15. Bahwa akan tetapi Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dan dilanjutkan dengan penahanan, tidak didasari 2 (dua) alat bukti sah yang dapat memberikan kepastian hukum tentang dimanakah perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan sebagai KPA pelaksanaan dana alokasi khusus (DAK) pendidikan Kabupaten Alor tahun anggaran 2019. Pemohon adalah Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Alor/Kuasa Pengguna Anggaran pada Dinas Pendidkan Kabupaten Alor;

16. Bahwa dana alokasi khusus (DAK) pendidikan Kabupaten Alor kemudian berada rekening Dinas Pendidikan dilaksanakan berdasarkan Keputusan Bupati Alor Nomor 031/HK/KEP/2019 tentang Penunjukan Bank Tempat Penampungan Rekening Kas Organisasi Perangkat Daerah Lingkup Pemerintah Kabupaten Alor Tahun Anggaran 2019, Tertanggal 20 Februari 2019. Selanjutnya mengenai pengalokasian anggaran dana alokasi khusus pendidikan kabupaten Alor tahun anggaran 2019 dilaksanakan berdasarkan Keputusan Bupati Alor Nomor 318/HK/KEP/2019 Tentang Penetapan Sekolah Dasar Dan Sekolah Menengah Pertama Penerima Dana Alokasi Khusus Peningkatan Prasarana Pendidikan Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Alor Tahun Anggaran 2019.

17. bahwa pemohon dalam kapasitasnya sebagai kepala dinas pendidikan kabupaten alor telah melaksanakan apa yang diamanatkan oleh pimpinan yakni bupati kabupaten alor sebagaimana kebijakan yang dikeluarkan oleh pimpinan melalui Keputusan Bupati Alor Nomor 031/HK/KEP/2019 dan Keputusan Bupati Alor Nomor 318/HK/KEP/2019. selanjutnya pemohon dalam kapasitasnya sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA) pada dinas pendidikan Kabupaten Alor telah melaksanakan perintah atau kebijakan yang dikeluarkan oleh Bupati Kabupten Alor selaku Pengguna Anggaran (PA) sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pasal 1 angka 9 “ Kuasa Pengguna Anggaran pada pelaksanaan APBD yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian kewenangan pengguna anggaran dalam melaksanakan sebagian tugas dan fungsi perangkat daerah.

18. Bahwa penetapan status tersangka oleh Termohon terhadap Pemohon, tidak dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan pemeriksaan ataupun pengambilan keterangan dari pimpinan dalam hal ini Bupati Alor yang adalah pengguna anggaran (PA) yang mana secara jelas pengelolaan dan penyaluran dana alokasi khusus (DAK) Pendidikan Kabupaten Alor tahun anggaran 2019 dilaksanakan berdasarkan kebijakan yakni Keputusan Bupati Alor Nomor 031/HK/KEP/2019 dan Keputusan Bupati Alor Nomor 318/HK/KEP/2019 yang dikaluarkan oleh Bupati Alor/PA, dengan demikian apabila pemohon disangkakan telah melakukan perbuatan yang menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya karena melaksanakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pimpinan Daerah dalam hal ini Keputusan Bupati Kabupaten Alor/PA dibidang pengelolaan DAK Pendidikan TA.2019 maka terlebih dahulu yang harus dimintai pertanggungjawaban adalah pembuat kebijakan/keputusan tersebut yang dalam hal ini Bupati Alor;

19. Bahwa pada bulan Desember tahun 2019 Badan Pemeriksa Keuangan Negara (BPK) perwakilan NTT telah melakukan evaluasi pelaksanaan (DAU dan DAK) Fisik Bidang Pendidikan Kabupaten Alor Tahun 2019 yang kemudian mengeluarkan pendapat perihal tentang permasalahan dan kendala adalah :
1. Mekanisme pengelolaan dan penyaluran DAK tahun 2019 menghendaki adanya review APIP sehingga memperpanjang jalur birokrasi yang mempengaruhi mekanisme transfer anggaran;
2. Permulaan pekerjaan DAK fisik TA.2019 dimulai pada 2 Agustus 2019 setelah dana tahap 1 ditrensfer pada tanggal 26 Juli 2019;
3. Kurangnya sinergi para pihak dalm pelaksanaan di lapangan;
4. Sampai dengan tanggal 16 Desember 2019 baru pada Transfer Dana Tahap 2;
5. rencana Transfer Dana Tahap 3 pada Minggu 3 Bulan Desember 2019.

20. Bahwa dalam evaluasi pelaksanaan (DAU dan DAK) Fisik Bidang Pendidikan Kabupaten Alor Tahun 2019, Badan Pemeriksa Keuangan sama sekali tidak mempersoalkan perihal mekanisme penempatan anggaran DAK Pendidikan 2019 maupun jenis swakelola yang dilaksanakan dalam pengelolaan dana DAK pendidikan Kabupaten Alor TA.2019.

21. Bahwa penetapan Pemohon sebagai tersangka dan dilanjutkan dengan penahanan juga tidak didasari Hasil Perhitungan Kerugian Negara dari Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan perhitungan kerugian keuangan negara dan menyatakan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara sebagai alat bukti permulaan yang membuktikan unsur kerugian keuangan negara dari ketentuan tindak pidana yang disangkakan kepada Pemohon. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai satu-satunya lembaga negara di Indonesia yang memiliki kewenangan untuk melakukan perhitungan kerugian keuangan negara dan menyatakan ada atau tidaknya kerugian keuangan Negara ditetapkan dalam Pasal 23 ayat (5) UndangUndang Dasar 1945 Jo. Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor: 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan Huruf A, angka 6 menyatakan “Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional, sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/ Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara, namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan negara;

22. Bahwa dengan demikian sangat jelas tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka tidak didasari bukti permulaan atau alat bukti yang cukup dan relevan dengan unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan kepada Pemohon, terutama tidak adanya alat bukti permulaan yang memberikan kepastian hukum tentang adanya perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan sebagai kepala dinas pendidikan Kabupaten Alor/KPA pelaksanaan dana alokasi khusus (DAK) pendidikan Kabupaten Alor tahun anggaran 2019 dan bukti permulaan yang
membuktikan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara dari lembaga yang berwenang menghitung dan mendeklarasikan ada atau tidaknya kerugian keuangan Negara. Sebaliknya bukti yang dimiliki Termohon hanyalah alat bukti berupa keterangan saksi dan surat-surat yang tidak memiliki relevansi dengan unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan kepada Pemohon, sehingga tidak memenuhi syarat bukti permulaan yang cukup sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 Oktober 2014, karena itu penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon tersebut mohon dinyatakan tidak sah dan dibatalkan demi hukum.

23. bahwa Hukum Acara Pidana yang berlaku di Indonesia sebelum tahun 1981 adalah Herziene In-landsch Reglement atau disebut HIR. Tapi seiring perkembangan zaman, maka dalam praktiknya mulai dirasakan bahwa ketentuan yang diatur dalam HIR kurang menghargai hak asasi manusia khususnya dalam kasus tindak pidana sehingga lahirlah Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mulai berlaku sejak 31 Desember 1981 yang disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP berdasarkan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 (R. Soesilo, 1980:3).

24. Bahwa hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materiil, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana putusan itu dilaksanakan (Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2014:4). Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau trafvordering (Belanda) atau Criminal Procedure Law (Inggris) adalah mengatur serangkain acara atau prosedur beracara mulai proses penyelidikan, penyidikan, pra penuntutan, penuntutan, persidangan hingga dilembaga pemasyaratakan, jika dilaksanakan tidak sesuai hukum acara yang berlaku (KUHAP) maka dianggap Cacat Formil.

25. Bahwa maksud pembentuk KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) adalah untuk memisahkan Penyidikan yang hanya diperuntukkan bagi Kepolisian dan Penuntutan bagi Kejaksaan. Hal itu tercermin dalam Pasal 1 angka 1 s/d 5 bahwa penyidik adalah Pejabat Polisi Negara dengan tugas Penyidikan, jo Pasal 4 s/d 12 jo Bab XIV yang dimulai dari Pasal 102 s/d 136 KUHAP. Pasal 1 angka 6 s/d 7 jo Pasal 13 s/d 15 jo Bab XV yang dimulai dari Pasal 137 s/d 144 KUHAP yang mengatur mengenai pejabat yang diberi wewenang sebagai Penuntut Umum yaitu Kejaksaan (Termohon). Pemisahan tersebut dengan tegas diatur dalam KUHAP. Pasal 284 ayat (2) adalah bersifat transisi, 2 tahun sejak KUHAP diundangkan Penyidik kembali ke Kepolisian. Olehnya KUHAP sudah berada pada jalur yang tepat, tatkala pembuat undang-undang memisahkan kekuasaan penyidikan dan penuntutan kepada dua instansi yang sederajat, yaitu Kepolisian selaku penyidik dan Kejaksaan selaku Penuntut Umum yang berkonsentrasi membuat dakwaan dan membuktikan dakwaannya di Pengadilan. Tentunya pemisahan tersebut menyiratkan suatu fungsi pengawasan antar instansi yang harus berjalan demi mencapai tujuan keadilan materiel yang sebenar-benarnya.

26. Bahwa Termohon melakukan penyidikan dengan pendasaran pada Pasal 284 ayat (2) KUHAP adalah tidak tepat, hal tersebut telah menyimpang dari maksud pembentuk undang-undang (KUHAP). Kontrol hakim terhadap Jaksa selaku Penuntut Umum harus diperluas dengan kewenangan memeriksa apakah tindakan Termohon dalam melakukan penyidikan sudah berdasar Undang-undang atau tidak. Bahwa bunyi Pasal 284 Ayat (2) KUHAP: “Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana’ sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”. Bahwa waktu yang ditentukan oleh Pasal 284 KUHAP yaitu 2 (dua) tahun dan sudah lewat sejak KUHAP diundangkan. Jika penyidikan masih dilakukan oleh Termohon maka hal tersebut bertentangan dengan Pasal 109 KUHAP yang mengatakan, begitu penyidikan dimulai, polisi harus memberitahukan tindakan pro justitia tersebut kepada jaksa (SPDP). Bahwa hubungan antara polisi selaku penyidik tindak pidana dengan jaksa selaku penuntut umum diatur dalam Pasal 109 Ayat (1) KUHAP, sebagai berikut: Dalam hal Penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, Penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum.

27. Bahwa untuk memahami Pasal 109 KUHAP sebagai landasan antara penyidik dengan penuntut umum, maka dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tertanggal 4 Februari 1982, dijelaskan bahwa hubungan antara penuntut umum dan penyidik dalam hal pelaksanaan penyidikan sebagaimana Pasal 109 ayat (1) di atas adalah bersifat Koordinasi Fungsional dan Institusional (Lihat penjelasan dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tanggal 4 Februari 1982, Bab I. Lihat KUHAP Lengkap, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, hlm. 239).

28. Bahwa dalam KUHAP dan UU Kepolisian mengatur penyelidikan dan penyidikan tindak pidana menjadi wewenang kepolisian. Dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI dalam pertimbangan huruf (c) berbunyi: “… bahwa untuk lebih memantapkan kedudukan dan peranan Kejaksaan RI sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun…”. Artinya kejaksaan berwenang dalam penuntutan, bukan penyidikan.

29. Bahwa dari UU tersebut diketahui, bahwa baik Kepolisian maupun Kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan di bidang penegakan hukum. Hal ini sudah sesuai dengan pengertian dalam kepustakaan internasional, yaitu istilah “law enforcement officer” atau “wershandhaver” yang merujuk pada kewenangan “memaksakan hukum” adalah hanya untuk profesi polisi, police officer dan profesi penuntut umum, public prosecutor. (Tim Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sinkronisasi Ketentuan Perundang-Undangan. Mengenai Sistem Peradilan Pidana Terpadu Melalui Penerapan Asas-Asas Umum, Jakarta, Juni 2001, hlm. 135-136).

30. Bahwa pasal-pasal penyidikan ditempatkan pada judul dan bab tersendiri. Demikian pula dengan penuntutan. Sejak semula definisi penyidikan diatur dalam Pasal 1 angka 1 s/d 5, sedangkan definisi penuntutan diatur dalam Pasal 1 angka 6 s/d 7 KUHAP. Penyelidikan diatur dalam Pasal 1 angka 1 s/d 5 dan ditegaskan kembali dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP, di mana Kepolisian Negara RI melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan penyidikan menurut Pasal 1 angka 1 merupakan wewenang dari pejabat polisi negara RI atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh UU untuk melakukan penyidikan sebagaimana disebut diatas. Bentuk kordinasi antara penyidik Polri dan Penuntut Umum sejak disampaikannya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP, terjalinlah hubungan koordinasi fungsional antara penyidik dan penuntut umum dalam penanganan perkara yang bersangkutan. Adanya hubungan koordinasi dan konsultasi tersebut, telah dilaksanakan sejak sebelum berlakunya KUHAP. Dasar pelaksanaan koordinasi dan konsultasi tersebut adalah Instruksi Bersama Jaksa Agung RI dan Kapolri No. INS TR-Q06iJ.A/10J13,0v-Nopol: INS/17/X/1981 tentang Peningkatan Usaha Pengamanan dan Kelancaran Penyidangan Perkara-perkara Pidana.

31. Bahwa dikeluarkannya instruksi bersama tersebut, adalah sebagai langkah persiapan dalam rangka menyongsong pelaksanaan KUHAP. Instruksi Bersama Jaksa Agung dan Kapolri tersebut di atas, setelah berlakunya KUHAP, dikukuhkan lagi dengan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.14-PW-07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983. Dalam butir ke-5 lampiran SK tersebut, dinyatakan: Tidak dapat ditepatinya jangka waktu 14 (empat belas) hari oleh penyidik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 138 ayat (2) KUHAP, dan tidak dipenuhinya petunjuk penuntut umum, menyebabkan berkas perkara tersebut bolak-balik lebih dari 2 (dua) kali antara penyidik dan penuntut umum.

32. Bahwa berdasarkan KUHAP, apabila penyidik selesai melakukan penyidikan, maka sesuai ketentuan Pasal 110 Ayat (1) KUHAP; penyidik harus menyerahkan hasil penyidikan kepada penuntut umum. Hasil penyidikan diserahkan pada penyerahan tahap I (Pasal 8 ayat 3 huruf a KUHAP). Setelah itu maka berdasarkan Pasal 138 KUHAP, penuntut umum harus memberitahukan kepada penyidik apakah penyidikan itu sudah sempurna atau belum. Jika belum sempurna, maka berkas perkara dapat dikembalikan disertai petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan tersebut dalam batas waktu 14 hari (pasal 110 ayat 2 KUHAP).

33. Bahwa penyidik Pegawai Negeri Sipil yang juga diberi hak untuk melakukan penyidikan selain polisi. Jadi KUHAP memungkinkan adanya penyidik yang bukan polisi. Dalam berbagai UU kita dapat menjumpai aturan tentang penyidikan yang harus dilakukan penyidik selain polisi, dalam hal ini PPNS, antara lain: di bidang Perikanan sesuai UU No. 9 Tahun 1985. Di bidang Imigrasi sesuai UU No. 9 Tahun 1992. Di bidang HaKI sesuai UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. Di bidang Pasar Modal sesuai UU No. 8 Tahun 1995. Di bidang Lingkungan sesuai UU No. 23 Tahun 1997. Di bidang Kepabeanan sesuai UU No. 30 Tahun 1997.

34. Bahwa dalam Pasal 30 ayat (1) huruf e UU Nomor; 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI di bidang peradilan pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang untuk melengkapi berkas perkara tertentu. Oleh karena itu, Kejaksaan dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan. Melakukan pemeriksaan tambahan (pra penuntutan). Fungsi dan Tugas Kejaksaan sebagai Sub-sistem Peradilan Pidana Hampir dalam semua yurisdiksi hukum di dunia, baik dalam tradisi Anglo Saxon, atau tradisi Eropa Kontinental, jaksa merupakan tokoh utama dalam penyelenggaraan peradilan pidana, karena ia memainkan peranan penting dalam proses pembuatan dakwaan/tuntutan. Sekalipun polisi diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan tapi polisi tetap tergantung kepada jaksa dan polisi tetap memerlukan nasihat dan pengarahan jaksa. Bahwa dengan demikian, jaksa memiliki kekuasaan untuk menetapkan apakah akan menuntut atau tidak menuntut hampir semua perkara pidana. Pengawasan Terhadap Kejaksaan selaku penuntut umum menurut KUHAP sejak semula dengan ditinggalkannya HIR oleh KUHAP, pembentuk undang-undang telah dengan tegas memisahkan kekuasaan penyidikan dan penuntutan. Bahwa dari uraian di atas diketahui bahwa sejak KUHAP dinyatakan mulai berlaku 31 Desember 1981, dibutuhkan koordinasi di bidang penyidikan antara polisi dan penuntut umum. Penuntut umum seringkali mengembalikan berkas penyidikan karena penyidikan yang dilakukan oleh polisi kurang lengkap. Yang dimaksud dengan koordinasi fungsional adalah hubungan kerja sama antara penyidik dan penuntut umum menurut fungsi dan wewenangnya masing-masing dalam penanganan perkara pidana.

35. Bahwa tidak ada pasal dalam UU Nomor; 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang secara tegas menyatakan Kejaksaan mempunyai kewenangan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. Setidaknya ada 3 pasal dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 yang ditafsirkan oleh Kejaksaan mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yakni Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 39.
1. Pasal 26: “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”.
2. Pasal 27: “Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung”.
3. Pasal 39: “Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan Penyelidikan, penyidikan, dan penuntut tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer”.

36. Bahwa ketentuan Pasal 26 UU Nomor 31 Tahun 1999 tidak memberikan kewenangan penyidikan kepada Kejaksaan, tetapi secara tegas pasal tersebut mengakui bahwa KUHAP sebagai hukum acara peradilan tindak pidana korupsi. KUHAP tidak memberi kewenangan Kejaksaan sebagai penyidik,tetapi berfungsi sebagai penuntut umum.

37. Bahwa dengan adanya UU Nomor; 31 Tahun 1999, maka Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dinyatakan tidak berlaku. Pasal 44 UU 31/1999 menyatakan “Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 19, TambahanLembaran Negara Nomor 2958), dinyatakan tidak berlaku”.

38. Bahwa oleh karena itu, tidak ada lagi kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Ketentuan Peralihan Pasal 284 ayat (2) KUHAP, tidak lagi menggunakan rujukan Undang- Undang Nomor; 3 Tahun 1971, melainkan UU Nomor 31 Tahun 1999. Jika masih ada pasal yang mengatur terkait kewenangan ini maka telah dilegasikan melalui UU Nomor; 31 Tahun 1999 dan KUHAP, hukum acara semua tindak pidana berada pada KUHAP.

39. Bahwa ketentuan Pasal 27 dan Pasal 39 UU Nomor; 31 Tahun 1999 tidak menegaskan bahwa kejaksaan memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan. Untuk Pasal 27 UU Nomor 31 Tahun 1999 sudah dinyatakan tidak berlaku dengan adanya ketentuan Pasal 71 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002.

40. Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor RI Nomor; 58 Tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor; RI Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP tidak mengatur kewenangan penyelidikan dan penyidikan oleh Kejaksaan. Peraturan Presiden RI Nomor; 29 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 38 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, tidak mengatur soal kewenangan Kejaksaan dalam melakukan Penyelidikan dan Penyidikan atas tindak pidana korupsi tapi mengatur Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.

41. Bahwa Pasal 1 angka 1 KUHAP menyebutkan penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan. Demikian juga Pasal 1 angka 2, 3, 4, 5 KUHAP dan UU 16/2004 tentang Kejaksaan; kejaksaan mempunyai wewenang untuk melakukan penuntutan. Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 1 angka 6 huruf b; Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Pasal 1 angka 7 KUHAP; Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

42. Bahwa berdasarkan UU Nomor; 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Pasal 1 angka 1; Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Pasal 1 angka 2 UU Nomor; 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan; Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Bahwa Pasal 1 angka 3 UU Nomor; 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan; Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

43. Bahwa dalam prinsip negara hukum tentang pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara, maka kewenangan penyidikan itu merupakan domain kepolisian dan penuntutan menjadi domain kejaksaan dalam rangka mencapai sistem peradilan pidana terpadu (the integrated criminal justice system). Bahwa Pasal 30 ayat (1) huruf d UU 16/2004 tentang Kejaksaan menyebutkan: Tugas dan wewenang Jaksa adalah melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan UU. Tindak pidana korupsi diatur dalam UU Nomor; 31 Tahun 1999. Dalam UU No. 31 Tahun 1999 tidak mengatur soal kewenangan Jaksa terkait melakukan penyelidikan dan penyidikan.

44. Bahwa hanya terdapat dalam Pasal 39 UU Nomor; 31 Tahun 1999; “Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer”. Pasal tersebut mengatur penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dilakukan secara bersama-sama, bukan lembaga tunggal dari Termohon.

45. Bahwa dengan demikian kewenangan penyelidikan (lidik) dan penyidikan (sidik) oleh Termohon berdasar KUHAP sebagai kaidah hukum formil adalah tidak ada. Jika tidak ada kewenangan yang diberikan KUHAP tapi menetapkan Para Pemohon menjadi tersangka dan dilakukan penahanan pada diri Para Pemohon adalah Cacat Formil, olehnya semua surat-surat yang diterbitkan oleh Termohon dalam perkara a quo cacat formil, tidak sah, harus dibatalkan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

46. Bahwa Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab undang-Undang Hukum Acara Pidana Bab VII tentang Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Tertentu Pasal 17 menyebutkan “Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik, Jaksa, dan Pajabat Penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan”. Diatur berdasar peraturan perundang-undangan, dalam Undang-undang Nomor; 31 tahun 1999 sebagimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor; 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor; 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, UU Nomor; 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan tidak mengatur secara tegas soal kewenangan tersebut.

47. Bahwa selain itu telah ada Putusan Praperadiln Pengadilan Negeri Tanjung Karang yang mengabulkan permohonan yang diajukan Dedy Hidayat selaku Pemohon praperadilan dengan amar putusan Jaksa tidak berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, olehnya penahanan pada PemohonDedy Hidayat menjadi tidak sah, mengembalikan harkat dan martabat Pemohon serta menghukum Termohon untuk membayar ganti kerugian.

48. Bahwa oleh karena Termohon tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap perkara dugaan tindak pidana Korupsi Penyimpangan Dalam Kegiatan Pembangunan Perpustakaan Sekolah, Kegiatan Rehabilitasi Sedang Berat Perpustakaan Sekolah, Kegiatan Pembangunan Laboratorium, Dan Ruang Praktikum Sekolah Dan Kegiatan Pengadaan Meubelair Sekolah Pada Dinas Pendidikan Alor Tahun Anggaran 2019. Dengan sangkaan Primair: Pasal 2 ayat (1) Jo pasal 18 Undang-undang Nomor; 31 tahun 1999 sebagimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor; 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Subsidair pasal 3 Undang-undang Nomor; 31 tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor; 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, maka berkas-berkas dalam perkara a quo diserahkan kepada lembaga yang berwenang dalam hal ini penyidik Polri dan kepada para pemohon.

Untuk diketahui, sidang akan dilanjutkan pada Senin,24/1/2022dengan agenda mendengarkan jawaban dari pihak Termohon dalam hal ini Kejaksaan Negeri Alor. (*Pepenk).

Komentar Anda?

Related posts