Kupang, seputar-ntt.com – Peribahasa kacang lupa kulit sepertinya tak berlaku bagi perempuan yang bernama lengkap Lanny Isabela Dwisyahri Koroh. Walaupun lahir dan besar di tanah rantau, namun dia tak pernah melupakan asal-usul dan tanah leluhurnya Sabu Raijua. Dalam Desertasi dengan judul “Bahasa dan Budaya Ke-due-an pada Guyub Tutur Sabu-Raijua dalam Perspektif Ekolinguistik” dia berhasil menyelesaikan jenjang pendidikan S3 dan meraih gelar Doktor di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Bali. Saat menyelesaikan pendidikan S2 pun dia telah fokus meneliti tentang pohon lontar yang menjadi simbol kehidupan bagi masyarakat di Kabupaten Sabu Raijua.
Untuk meneliti pohon lontar, koordinator teater “perempuan biasa” ini harus berjibaku dengan ganasnya pulau Sabu. Hal itu pula yang membuatnya semakin jatuh cinta dan menyelami secara mendalam budaya di negeri sejuta lontar itu. Sebagai orang Sabu dia merasa terpanggil untuk meninggalkan warisan yang ilmiah bagi generasi yang semakin tenggelam dalam arus perubahan zaman. Dia ingin menunjukkan kepada orang muda dan lebih khusus terhadap kaum peremuan bahwa bukan hal yang musthail untuk meraih sebuah gelar. Dia tak mau jika wanita hanya berada di dapur dan ranjang bagi kaum laki-laki. Tidak heran jika dia mampu menyelesaikan pendidikannya di usia yang terbilang cukup muda yakni 31 tahun. Dia juga telah turut menambah deretan doktor yang berasal dari Sabu Raijua.
“Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis, menemukan, dan menguraikan karakterisk dan fungsi bahasa yang berhubungan dengan bahasa dan budaya lontar. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan menjelaskan karakteristik bentuk lingual tentang lontar pada guyub tutur Sabu-Raijua. Menemukan dan menjelaskan representasi persepsi guyub tutur Sabu-Raijua dalam tuturan keduean. Menemukan dan menjelaskan bagaimana dinamika bahasa dan budaya keduean pada guyub tutur Sabu-Raijua dan menggambarkan dan menjelaskan bagaimana peta-peta ekoleksikal fungsional tentang ke-due-an pada guyub tutur Sabu-Raijua,” ungkap Lanny Koroh lewat kepada media ini, Kamis (27/7/2017).
Dia berharap agar lewat penelitian dalam desertasinya tidak hanya mewariskan ilmu tentang lontar bagi generasi penerus tapi lebih kepada bagimana mencintai dan melestarikan budaya sehingga tidak punah dan menjadi dongeng pengantar tidur. “Secara teoretis, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi, memperkaya khazanah keilmuan linguistik yaitu linguistik makro dalam hal ini fakta-fakta ekolinguistik. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menyediakan data tentang karakteristik bentuk lingual yang berhubungan dengan bahasa dan budaya pada guyub tutur Sabu-Raijua, menambah wawasan atau pengetahuan generasi muda tentang bahasa dan budaya lontar, yang kemudian dapat dikembangkan sebagai sarana atau sumber ekonomi kreatif , menambah pengetahuan tentang filosofi dan ideology guyub tutur Sabu-Raijua tentang lontar dan pada akhirnya penelitian ini bermanfaat sebagai alat atau sarana pelestarian dan pendokumentasi bahasa Sabu,” tutup Lanny. (jrg)