Oleh : Pepenk Karempenk (Kontributor Kabupaten Alor)
Kalabahi, seputar-ntt.com – Kelangkaan minyak tanah kembali terjadi di Kabupaten Alor Jelang perayaan natal dan tahun baru (Nataru). Hal ini seperti siklus tahunan tanpa perubahan berarti.
Pasalnya, pemerintah kembali hadir terlambat, sibuk melakukan sidak seremonial dan menenangkan publik dengan janji penanganan, sementara akar persoalan tetap tidak tersentuh.
Ini bukan lagi sekadar kegagalan teknis, tetapi kegagalan tata kelola dimana regulasi tersedia dan kewenangan jelas namun tidak digunakan.
Kenaikan permintaan minyak tanah bukan fenomena baru. Pola ini telah berulang selama bertahun-tahun dan seharusnya menjadi dasar perencanaan yang matang.
Lonjakan harga hingga Rp. 50.000/5 liter di Kalabahi, bahkan mencapai Rp. 80.000–Rp. 100.000 di Pantar dan Alor Timur Laut menggambar ketidakefektifan kebijakan penetapan HET dan absennya pengawasan yang ketat terhadap rantai distribusi di tingkat agen, sub penyalur, maupun pengecer, serta bukti bahwa pemerintah daerah gagal merespons dinamika konsumsi yang sangat bisa diprediksi.
Padahal UU No. 23/2014 mewajibkan pemerintah daerah menyediakan layanan dasar berbasis perencanaan data yang akurat. Konsistensi kelangkaan hanya menunjukkan bahwa perencanaan itu tidak pernah benar-benar diterapkan.
Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp. 4.000 per liter jelas tidak berjalan. Tidak ada mekanisme pengawasan harga yang efektif, sebagaimana diamanatkan dalam Perpres 71/2015 dan Permendag 04/2024.
Di Alor, harga minyak tanah cenderung ditentukan bukan berdasarkan kebijakan, tetapi berdasarkan kesempatan. Pemerintah daerah membiarkan pasar dikendalikan oleh pelaku yang memanfaatkan situasi tanpa konsekuensi hukum.
Ironisnya, sidak yang dilakukan pemerintah sejak 2019 hanya berakhir dengan teguran, tidak ada sanksi administratif, tidak ada pencabutan izin, tidak ada proses hukum, menyebabkan siklus kelangkaan kembali berulang, bahkan cenderung semakin parah.
Saat ini, distributor minyak tanah di Kabupaten Alor sepenuhnya dikelola oleh perusahaan bernama PT. Ombay Sukses Persada bekerjasama dengan Pertamina, serta terdapat 211 pangkalan yang tersebar di beberapa wilayah.
Setiap pangkalan menerima pasokan dari perusahaan sebanyak 2–3 drum per kali pengiriman (masing-masing berkapasitas 208 liter) dengan harga satu drum Rp. 700.000, namun dijual kembali kepada masyarakat dengan harga per liter antara Rp. 5.000 hingga Rp. 6.000.
Kendati demikian, secara umum masyarakat tidak memiliki akses terhadap data kuota per pangkalan, jadwal distribusi, realisasi penyaluran, hingga hasil audit agen penyalur.
Padahal UU Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dengan tegas menyebut, data tersebut harus dapat diakses publik karena menyangkut hajat hidup orang banyak.
Ketertutupan informasi hanya memperluas ruang gerak bagi penyimpangan distribusi, penahanan stok, spekulasi harga, dan penguasaan pasokan oleh kelompok tertentu.
Dengan kuota 4.188 Kilo Liter per tahun untuk 211 pangkalan tersebut, ketersediaan minyak tanah sebenarnya cukup.
Yang hilang adalah pengawasan. Ketika penyalur dapat bebas memainkan stok tanpa risiko sanksi, maka kelangkaan akan selalu menjadi komoditas menguntungkan.
Pasal 107 UU Perdagangan memberikan ancaman pidana bagi pelaku penimbunan. Tetapi di Alor, penindakan tidak pernah mencapai level tersebut.
Pemerintah memilih pendekatan persuasif yang pada praktiknya hanya memberi ruang bagi para pelaku untuk mengulangi perilaku yang sama setiap tahun.
Kelangkaan minyak tanah bukan persoalan distribusi semata, tetapi persoalan keberanian politik. Pemerintah daerah wajib berhenti menjadi penonton dan mulai menggunakan kewenangan yang sudah diberikan undang-undang.
Ada empat langkah penting yang harus segera dilakukan :
1. Audit total seluruh pangkalan untuk memastikan alamat, kepemilikan, dan kuota sesuai fakta.
2. Publikasi terbuka seluruh data distribusi, mulai dari kuota hingga jadwal penyaluran.
3. Penegakan hukum tegas terhadap pangkalan atau agen yang menimbun atau memanipulasi stok.
4. Reformasi struktur pangkalan, termasuk membatasi dominasi jaringan internal dalam rantai distribusi.
Krisis minyak tanah di Alor bukanlah krisis alamiah, ini adalah krisis tata kelola, dan hanya dapat diselesaikan dengan tata kelola yang lebih kuat, transparan, dan berpihak pada masyarakat.
Pemerintah daerah harus kembali pada mandat utamanya, melindungi kepentingan publik, bukan membiarkan kepentingan segelintir pihak mengatur harga hajat hidup orang banyak. (*)

Follow



















