Kalabahi, seputar-ntt.com – Situs Al Qur’an Tua Kulit Kayu di Desa Alor Besar berasal dari Ternate (Maluku Utara) dan merupakan pusaka Kesultanan Ternate (sebelumnya kerajaan Gapi). Menurut penuturan beberapa narasumber, Al Qur’an Tua Kulit Kayu dibawa oleh Lima Gogo bersaudara yang meninggalkan Kesultanan Ternate pada masa Sultan Bayanullah berkuasa (1500–1522 M) karena menghindari incaran Portugis sekaligus dalam rangka syiar Islam ke negeri-negeri di bagian barat.
Riset Lajnah Pentashihan Mushaf Al Qur’an (LPMQ) Kementerian Agama RI, mushaf tertua di Asia Tenggara adalah mushaf yang berasal dari Johor, Malaysia bertahun 1606 M, namun saat ini berada di Belanda. Sedangkan mushaf Qur’an tertua di Indonesia adalah bertahun 1625 M, saat Tim LPMQ Kementerian Agama RI mengunjungi situs Al Qur’an Tua Kulit Kayu ini pada bulan September 2019; dimana dari hasil pengamatannya disampaikan bahwa ternyata situs Al Qur’an Tua Kulit Kayu yang berada di Desa Alor Besar ini adalah yang tertua sepanjang catatan riset mereka.
Bahkan sebelumnya, pada Juli 2006, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Abdurahhim Yapono kepada BBC News ketika melihat mushaf Al Qur’an ini mengatakan, Al Qur’an Kuno yang berada di Alor ini mirip dengan Al Qur’an yang tersimpan di Mesir. Hal ini dilihat dari papirus (bahan kertas pada zaman kuno) dan bentuk kaligrafi serta warna tintanya, sehingga layak jika diklaim sebagai mushaf Al Qur’an tertua di Asia Tenggara bahkan tersisa di Asia selain yang ada di Mesir. Seperti dilansir bbc.com (https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/07/160630_majalah_al_quran_alor)
Situs Al Qur’an Tua Kulit Kayu ini merupakan kebanggaan masyarakat Alor dan dipercaya mengandung “kekuatan supranatural tersendiri” serta menjadi daya tarik tersendiri bahkan sudah tersohor di dunia internasional sebagai situs warisan budaya peradaban Islam. Secara fisik, situs Al Qur’an Tua Kulit Kayu masih terjaga dengan baik, dalam kondisi utuh, terdiri dari 30 juz dan 114 surat.
Pada tahun 1979 terjadi kebakaran yang melanda Uma Fanja tempat penyimpanan Al-Qur’an Tua Kulit Kayu dan menghanguskan seluruh bangunan rumah dan peninggalan sejarah lainnya, namun atas izin dan kuasa Allah SWT, maka Al Qur’an dan tempat penyimpanan ini tidak terbakar hingga saat ini masih tersimpan dengan baik dalam penjagaan Nurdin Gogo, pewaris generasi ke 14 keturunan Iang Gogo.
Pada tahun 2011, situs Al Qur’an ini pertama kali dipamerkan dalam Festival Legu Gam Moluko Kie Raha di Ternate Provinsi Maluku Utara. Hal ini dikarenakan dari hasil penelitian Kesultanan Ternate mushaf Al Qur’an Tua Kulit Kayu yang masih utuh hanya ada di Alor Besar Kabupaten Alor Provinsi NTT. Sedangkan mushaf Qur’an Tua Kulit Kayu yang berada di Kedaton Kesultanan Ternate sudah dalam kondisi rusak walaupun berusia lebih muda dibandingkan dengan mushaf di Alor Besar.
Oleh karena itu, Sultan Ternate Mudaffar Syah mengirimkan delegasi ke Alor Besar yang terdiri dari Wakil Sultan Ternate, Sekretaris Kerajaan Ternate, Wakil Walikota Ternate, dan Imam Masjid Kedaton Ternate; dengan misi untuk memohon kepada masyarakat Alor khususnya keluarga Gogo, agar bersedia “meminjamkan” mushaf Al Qur’an Tua Kulit Kayu ini; supaya bisa dipamerkan kepada khalayak ramai dalam Festival Legu Gam di Ternate Maluku Utara.
Mengingat hubungan kekerabatan dan ikatan kekeluargaan, maka permohonan ini disambut baik oleh Pemerintah Kabupaten Alor dan sang pewaris Nurdin Gogo. Dengan dikawal oleh Nurdin Gogo, didampingi keluarga kerajaan Alor di Bungabali, dan Imam Masjid Baabussholah Alor Besar, Mushaf Al Qur’an Tua Kulit Kayu dibawa menuju ke Ternate, Maluku Utara.
Kedatangan Mushaf Al Qur’an Tua Kulit Kayu beserta pewarisnya disambut megah dan sakral bak pahlawan dari medan laga, isak tangis penuh haru dan kebanggaan menyambut pusaka dan pewaris Kerajaan Ternate setelah berpisah lebih dari sekitar 500 tahun lamanya dan kini telah kembali lagi ke bumi rempah, tanah Ternate, setelah terpisah 14 generasi meninggalkan Kedaton Kesultanan Ternate.
Sejarah Masuknya Al Quran Tua Kulit Kayu di Desa Alor Besar
Al-Qur’an Tua Kulit Kayu yang berada di Alor Besar Kecamatan Alor Barat Laut Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur berasal dari Ternate (Provinsi Maluku Utara). Pada masa kesultanan Gapi Baguna I (1372–1377 M) muncullah penamaan perahu yang dinamakan Tuma’ninah, yang saat itu dipergunakan sebagai pengangkut rempah-rempah komoditi perdagangan Kerajaan Ternate dengan dunia luar.
Perahu jenis inilah yang nantinya dipakai oleh Lima Gogo Bersaudara untuk berlayar menuju ke negeri-negeri di bagian barat dalam rangka syiar agama Islam. Penamaan perahu Tuma’ninah ini tidak ditemukan lagi di masa-masa setelahnya.
Dari beberapa sumber yang referensinya sudah beredar di media, terdapat kesamaan persepsi tentang waktu keberangkatan Lima Gogo bersaudara yakni setelah kedatangan Portugis di Ternate pada tahun 1511-1512 M. Kesamaan beberapa sumber itu juga mengerucut pada tahun pendaratan Lima Gogo Bersaudara di Pantai Fetalei, Bota, Alor Barat Laut; yakni sekitar tahun 1519 M.
Dalam rangka penyebaran agama Islam maka Sultan Bayanullah sebagai Sultan Ternate (1500–1522 M) mengirimkan ekspedisi ke negeri-negeri di bagian barat Ternate. Perahu Tuma’ninah yang memuat rombongan Lima Gogo Bersaudara berangkat meninggalkan Ternate menuju ke arah Selatan dan Barat melewati Laut Banda dan berlayar terus melewati perairan Utara Pulau Alor. Dalam pelayaran mereka kehabisan bekal, maka diputuskan untuk singgah di sebuah tanjung di wilayah Barat Laut Pulau Alor yakni Fetalei (Tanjung Bota, sekarang Desa Alila) untuk mencari sumber air minum.
Setelah memenuhi perbekalan, Lima Bersaudara Gogo berniat melanjutkan perjalanan ke bagian barat. Pada saat itu, Raja Baololong dari Istana Bungabali, sedang berada di sebuah tempat istirahat Raja (sekarang Desa Alaang); ia melihat sebuah perahu layar sementara menuju arah barat. Sang Raja kemudian melambaikan tangan untuk memanggil perahu tersebut.
Setelah sampai terjadilah dialog antara Raja Baololong dengan Lima Gogo bersaudara. Dalam percakapan ini berakhir dengan pertukaran cinderamata, yakni Lima Bersaudara Gogo memberikan sebuah Nekara besar (saat ini tersimpan di Museum Daerah Alor) dan Raja Baololong memberikan sebuah pisau keris.
Perjalanan Lima Gogo Bersaudara dilanjutkan menuju ke arah barat, hingga terdampar di pantai Tuabang, Pulau Pantar. Setelah beristirahat sejenak di Pantai Tuabang, Lima Gogo Bersaudara kembali berlayar menuju Alor Besar untuk bertemu Raja Baololong di Uma Raja (Uma Pusung Rebong).
Sang Raja meminta kelima Bersaudara Gogo untuk tinggal menetap di Uma Pusung Rebong di Kampung Alor Besar.
Seiring berjalannya waktu, Gogo Bersaudara merasa tidak nyaman tinggal bersama Raja Baololong di Uma Pusung Rebong karena itu, mereka meminta ijin kepada Raja Baololong agar diberikan sebidang tanah untuk dibangun rumah tempat tinggal sendiri walaupun masih di wilayah kampung Bang Mate.
Permintaan itu direstui oleh Raja Baololong, maka di berikanlah sebidang tanah tempat rumah mereka yang diberi nama “UMA FANJA” (Rumah Banda) dan sampai saat ini menjadi tempat penyimpanan Al-Qur’an Tua Kulit Kayu tersebut.
Di Uma Fanja inilah misi penyebaran Islam mulai dijalankan oleh Lima Gogo Bersaudara. Dengan berbekal Al Qur’an Tua Kulit Kayu, mereka mulai mengajar mengaji, sholat, dzikir dan perilaku hidup Islami.
Dalam Perkembangannya, Lima Gogo Bersaudara meminta sebidang tanah kepada Raja Baololong untuk dibangun tempat belajar mengaji dan pusat kegiatan Islami di Kampung Alor Besar. Raja pun menyetujui permintaan itu sehingga diberikanlah sebidang tanah untuk dibangun sebuah Ropo (rumah panggung kecil khas Ternate). Ropo ini adalah cikal bakal Masjid Baabussholah Desa Alor Besar. Sejak saat itu semua bentuk kegiatan keagamaan tidak lagi dilakukan di Uma Fanja, dan dipindahkan di Ropo.
Dengan berjalannya waktu, Lima Gogo Bersaudara merasa bahwa rakyat kampung Bang Mate sudah mengetahui dan memahami ajaran Islam, maka mereka berencana untuk melanjutkan perjalanan syiar agama Islam di tempat lain. Namun rencana kepergian mereka tidak disetujui oleh Raja Baololong, dan untuk mencegah kepergian mereka, Raja berniat menikahkan salah seorang dari Lima Gogo Bersaudara dengan putri Bui Haki, seorang putri bangsawan saudara Raja. Sesuai kesepakatan Lima Gogo Bersaudara, maka Iang Gogo menikah dengan putri Bui Haki, dan tinggal menetap di Alor Besar.
Setelah pernikahan Iang Gogo dengan putri Bui Haki terlaksana, keempat saudara Iang Gogo melanjutkan perjalanan syiar Islam ke tempat lainnya. Saat itu, dari keempat orang bersaudara, hanya tiga orang yang mendahului keluar dari kampung Alor Besar, yaitu Ilyas Gogo pergi ke Tuabang-Pandai, Jou Gogo pergi ke Baranusa, Boi Gogo pergi ke Solor (Flores Timur)
Sedangkan saudara bungsu mereka, Kimales Gogo masih tetap bertahan dan tinggal bersama Iang Gogo di kampung Bang Mate untuk menyebarkan ajaran Islam. Namun tidak berapa lama kemudian, Kimales Gogo juga melanjutkan perjalanan syiar Islam dengan perahu Tuma’ninah menuju ke arah timur, yang akhirnya mendarat di Lerabaing, di wilayah Alor Barat Daya.
Dari hasil perkawinan Iang Gogo dengan putri Bui Haki maka hingga saat ini turun temurun terlahirlah 14 generasi pewaris Al Qur’an Tua Kulit Kayu, yakni Tahionong Gogi, Boi Raja Tahi, Ramanehe Boi, Boi Kae Rama, Pati Raja Boi, Salama Kae Pati, Aboi Juga Salama, Taluti Aboi, Nae Rae Taluti, Gati Angin Nae, Ola Gati, Panggo Ola, Salim Panggo Gogo, Nurdin Gogo. (*Pepenk/Sumber : Suku Marang/Sekretaris Raja Alor-Bunga Bali Alor Besar)