Menadah Rupiah di Pinggiran Siliwangi

  • Whatsapp

Kupang, seputar-ntt.com – Terik matahari diawal Januari 2016 terasa mennyenagt kulit walaupun sebenarnya musim penghujan. Hilir mudik pejalan kaki dipinggiran jalan Siliwangi, Kelurahan Bonipoi, pada Selasa, 26 Januari nampak seperti biasa. Kota tua yang terletak di Kecamatan Kota lama, Kota Kupang ini seperti tak pernah sepi ketika siang hari.

Diantara para pejalan kaki dan penjual kaki lima yang berjejeran di emperan pertokoan ii, ada beberapa orang yang duduk menadahkan tangan menunggu pengasihan para pejalan kaki. Rupanya sudah ada pengemis di Kota ini. Mereka adalah kaun disabilitas yang entah sengaja mencari rupiah dengan menadahkan tangan atau memang hanya itu yang bisa mereka lakukan.

Sekalipun Kota kupang termasuk dalam wilayah Provinsi NTT yang tergolong miskin, namun tidak ada pengemis. Apakah kota ini sudah terlampau miskin atau ada warga yang memanfaatkan ketidaksempurnaan untuk mengais rupiah untuk mengepulkan asap dapur.

Melihat para pengais rupiah jika terlalu kasar menyebut mereka pengemis, seputar-ntt.com mencoba mendekati mereka. Rupanya mereka tak segan untuk menceritakan kenapa mereka harus meninggalkan rumah dan memilih pinggiran jalan untuk memperoleh rupiah walaupun dalam pelukan terinya matahari dan belaian angin laut.

“Awalnya saya malu, ketika pertama kali duduk dipinggi jalan sambil menadahkan tangan. Saya tidak berani meinta, hanya duduk-dukuk saja. Namun ketika orang melihat saya punya kondisi ada yang hatinya tergerak dan memberi uang,” kata Semy yang mengaku sebagai warga Tanah Merah, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang.

Rupanya dia juga memiliki keluarga lauaknya manusia normal yang anggota tubuhnya lengkap. Sebagai kepala keluarga dia tidak bisa berdiam diri sambil melihat sang istri banting tulang menghidupi keluarga. Rasa malu dibuang jauh-jauh hanya dengan satu tekad, anak dan istri bisa makan.

“Saya datang minta bantuan tukang ojek untuk antar dan jemput. Biasanya saya smapai disini jam 10:00 wita dan pulang pukul 20:wita. Saya tidak datang kalau ada sakit atau ada urusan keluarga,” ungkapnya.

Ditanya tentang berapa pendapatannya setiap hari dari uluran tangan para penderma, Semy malu-malu mengatakannya. “Bisa untuk beli makan dan juga kasih sekolah anak-anak. Saya tidak malu pak, sekalpiun banyak kelurga yang menganggap saya hina. Ini demi keluarga,” kata Semy yang matanya mulai berkaca-kaca.

Lain lagi cerita Frans, warga Kelurahan Tenau ini mengakuĀ  harus berjibaku dengan panas dan hujan dipinggiran jalan karna tak mau melihat anak-anaknya tidak bisa bersekolah.

“Saya orang yang tidak sekolah, jika anak-anak juga tidak sekolah bagimana masa depan mereka. Awalnya mereka sangat marah ketika pertama kali saya menjalani pekerjaan sebagai pengemis. Namun saya selalu menguatkan mereka bahwa akan lebih hina jika kita mencuri,” ujarnya.

Awalnya, kata Frans, mereka hanya berempat saja yang duduk di pinggiran jalan Siliwangi, namun saat ini sudah bertambah menjai enam orang. Dia juga tidak merasa terganggu dengan kehadiran teman-teman lain yang juga mengais rejeki dari uluran tangan pejalan kaki.

“Kami merasa senasib sehingga tidak ada yang merasa cemburu atau bagimana. Kami bersyukur Tuhan masih memberikan kami berkat lewat tangan, bapak ibu yang lewat sini,”kata Frans. (joey rihi ga)

Komentar Anda?

Related posts