Dari Kristal Putih Sabu Raijua: Harapan Garam Nasional yang Menyala di Bawah Matahari Timur

  • Whatsapp

Sabu Raijua, seputar-ntt.com – Di ufuk timur Sabu Raijua, matahari memanjat pelan, menumpahkan cahaya keemasan di atas hamparan tambak garam. Permukaan air yang dangkal berkilau seperti kaca, memantulkan langit biru dan awan yang berarak ringan. Di antara kilau itu, butiran garam mulai menampakkan diri putih, bersih, dan berkilat. Hari itu, bukan sekadar panen biasa. Itu adalah panen perdana PT Garindo Sejahtera Abadi di tanah kering yang selama ini menyimpan rahasia kejernihan lautnya.

“Ini panen perdana kami di Sabu Raijua, dan hasilnya di luar ekspektasi. Dari segi volume maupun mutu, kualitasnya sangat bagus bisa dikategorikan garam premium” ujar Anshori, Direktur PT Garindo, dengan suara yang sulit menyembunyikan nada kagum usai panen garam di Kampung Lobo Bali, Desa Bodae, Kecamatan Sabu Timur, Kabupaten Sabu Raijua pada Rabu, (29/10/2025)

Ia berdiri di antara pekerja yang sibuk menggaruk permukaan tambak, memungut garam seperti memungut permata. “Dari volume hingga mutu, hasilnya benar-benar bagus. Kalau boleh saya katakan, ini garam premium.”

Garam itu tak hanya putih ia seolah punya kehidupan sendiri, merefleksikan panas yang panjang dan angin kering khas Sabu. Di pulau kecil ini, cuaca ekstrem bukan musuh, melainkan sekutu. Anshori tahu betul, di sinilah kekuatan tersembunyi Sabu: musim kemarau yang lebih panjang dibanding Madura atau Jawa, serta garis pantai yang memeluk potensi alam tanpa batas.

“Saya pikir, kalau pemerintah mau memulai swasembada garam nasional, Sabu adalah tempat yang tepat.” Nada yakin itu terucap tanpa keraguan, seolah matahari di senja itu turut menyetujui.

Di sisi lain, di balik meja kerjanya yang sederhana namun penuh peta dan data produksi, Aria, sang pemilik PT Garindo, menatap peta Sabu dengan pandangan jauh. Ia bukan sekadar pengusaha yang menghitung laba, tapi seseorang yang melihat masa depan bangsa dari sebutir garam.

“Untuk apa kita impor kalau negeri ini bisa menghasilkan sendiri?” katanya tenang, namun tegas.

“Pulau Sabu ini punya hasil yang sangat bagus. Kami akan perluas lahan, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, tapi juga industri dalam negeri. Ini bentuk dukungan kami terhadap pemerintah menuju swasembada garam.”

Bagi Aria, garam bukan hanya komoditas ia adalah simbol kemandirian. Seperti laut yang tak pernah menolak matahari, Indonesia seharusnya tidak bergantung pada garam asing.

Dan di tengah denyut perubahan itu, ada Marthen Dira Tome, tokoh masyarakat dan dan orang pertama yang membuat garam menggunakan teknologi geomembran di Sabu Raijua. Mimpi dan kerja keras bupati pertama di Sabu Raijua itulah yang kini memicu pihak swasta menanam investasi di Sabu Raijua

Ia masih mengingat pertemuannya dengan Aria beberapa bulan lalu. “Dia pengusaha muda yang visioner. Tidak banyak bicara, tapi tahu harus berbuat apa.”

Bagi Marthen, apa yang terjadi di Sabu Raijua hari ini lebih dari sekadar bisnis. “Ini tentang bagaimana garam bisa membawa kehidupan baru. Ada pekerjaan, ada perputaran uang, ada kebanggaan. Sabu kini bukan sekadar pulau panas dan kering, tapi ladang harapan.”

Namun ia juga tak menutup mata terhadap suara-suara miring yang kadang muncul dari luar daerah.

Dengan nada penuh keprihatinan, Marthen mengingatkan, “Kalau tidak tahu, jangan banyak bicara. Biarkan yang paham bekerja. Kita butuh iklim yang kondusif agar investor tidak ragu. Karena ini bukan hanya urusan Garindo, tapi masa depan Sabu.”

Ia menegaskan, apa yang dilakukan PT Garindo adalah bagian dari sinergi besar: pemerintah, pengusaha, dan rakyat. Sebuah hubungan yang ia sebut “asas tripartit” — pilar yang menopang kemandirian bangsa.

“Ini sejalan dengan program nasional menuju mandiri garam 2027. Jadi apa yang dimulai di Sabu ini, sebenarnya langkah kecil untuk cita-cita besar Indonesia.”

Sore menjelang. Sinar matahari yang tadi menyala kini memudar perlahan, tapi pantulan cahaya di permukaan tambak tetap menari. Para pekerja menggiring tumpukan garam ke tepi, menjemurnya, dan mengemasnya dengan tangan-tangan penuh harapan.

Sabu Raijua sore itu bukan hanya tempat panen. Ia adalah cermin tempat di mana Indonesia melihat kemungkinan menjadi tuan di negeri sendiri.

Dan dari sebutir garam yang memantulkan cahaya sore, kita belajar bahwa kemandirian tidak selalu dimulai dari hal besar. Kadang, ia lahir dari butiran kecil seputih garam, sekuat tekad mereka yang bekerja dalam diam.(*)

Komentar Anda?

Related posts