Musim Hujan, Garam, dan Sebuah Mimpi dari Lelaki Bernama Marthen Dira Tome

  • Whatsapp

Kupang, seputar-ntt.com – Hujan pertama turun di Sabu Raijua seperti kabar lama yang kembali dibacakan langit. Rintiknya tidak sekadar membasahi tanah, tetapi membuka halaman baru bagi seorang lelaki yang tak pernah berhenti menggali masa depan dari kepingan-kepingan garam. Marthen Dira Tome, sosok yang pertama kali menghadirkan teknologi geomembran di pulau kecil nan tandus itu, kembali berpacu dengan musim.

Ketika matahari membentang panjang di musim kemarau dan tambak-tambak garam berkilau seperti cermin raksasa, Marthen mengerahkan seluruh tenaganya untuk menaikkan produksi. Tetapi ketika hujan turun dan angin membawa aroma basah dari ladang-ladang lontar, ia tidak beristirahat. Justru saat itulah ia membuka lembar kerja baru: memperluas tambak garam.

Pada Selasa, 2 November 2025, Marthen berdiri di atas lahan yang kelak akan menjadi petak-petak putih masa depan. Lahan baru di Pantai Nyiuwudu, Desa Kudjiratu, tengah dikerjakan; sementara di Pantai Wadju, Desa Huwaga, Kecamatan Sabu Timur, pekerja lain membuka wilayah baru yang sama luas seperti mimpinya.

Ini bukan lagi proyek pribadi, melainkan ruang harapan milik banyak investor yang datang menanam kepercayaan mereka di tanah Sabu Raijua—tanah yang dulu hanya dikenal karena angin dan asin lautnya.

Bagi Marthen, tambak-tambak itu bukan sekadar kolam air asin yang menunggu penguapan. Ia melihatnya sebagai kanvas masa depan. “Masa depan Sabu Raijua, bahkan NTT, adalah garam,” ujarnya pelan, seakan berbicara kepada angin yang lewat membawa restu.

Ia tahu, negeri ini masih mendatangkan 2,8 juta ton garam dari luar negeri. Ia tahu ada harapan besar dari Presiden Prabowo untuk menutup pintu impor itu. Dan ia percaya, dari pulau kecil ini, Indonesia dapat memulai langkah kemandiriannya.

Marthen, bupati pertama Sabu Raijua, telah lama meninggalkan kursi kekuasaan. Tetapi ia tidak meninggalkan rakyatnya. “Untuk membangun daerah dan memberi hidup masyarakat, tidak perlu menjadi bupati atau gubernur,” tuturnya.

Menurutnya, pemimpin adalah seseorang yang gelisah ketika melihat rakyatnya kelaparan—gelisah hingga bergerak, hingga bekerja, hingga mencipta perubahan dari apa pun yang mampu ia pegang.

Kini, beberapa perusahaan telah masuk menanam investasi pada tambak garam di Sabu Raijua. Mereka memilih Marthen sebagai mentor, sebagai pengawas, sebagai kompas yang tahu arah angin dan tahu bagaimana garam diolah bukan hanya dengan teknologi, tetapi dengan obsesi yang tidak pernah padam.

Ia mengingatkan satu hal sederhana: segala sesuatu membutuhkan proses. Bahkan mie instan, makanan paling cepat saji yang akrab dengan banyak orang, pun tetap harus melewati tahapan. “Orang yang terbiasa mengerjakan hal kecil,” katanya, “tidak akan canggung ketika diberi pekerjaan besar.”

Dan pekerjaan besar itu kini berada di depan matanya: menjadikan NTT penyokong kebutuhan garam nasional. Sebuah ambisi yang lahir bukan dari mimpi kosong, melainkan dari kualitas nyata. Garam Sabu Raijua memiliki kadar NaCl 97–98 persen, kualitas premium yang jarang ditemukan di tempat lain. Di bawah terik matahari atau pun di tengah rintik hujan, angka itu terus menjadi pengingat bahwa tanah asalnya menyimpan kekuatan.

Musim hujan memang tiba di Sabu Raijua. Tanah menjadi lembut, udara menjadi dingin, dan pulau kecil itu diselimuti kesejukan yang jarang datang. Tetapi bagi Marthen Dira Tome, hujan bukan jeda. Ia adalah kesempatan. Kesempatan memperluas tambak. Kesempatan memperluas harapan. Kesempatan memperluas mimpi tentang garam yang tidak hanya asin, tetapi juga masa depan. (jrg)

Komentar Anda?

Related posts