Kupang, seputar-ntt.com – Air bah yang turun dari bukit-bukit Sumatera pada akhir November hingga awal Desember 2025 itu bukan sekadar hujan yang salah musim. Ia datang membawa kisah kelam: rumah-rumah yang karam, wajah-wajah yang hilang dalam deras lumpur, dan bumi yang seperti tak lagi sanggup menanggung beban yang ditimpakan padanya.
BNPB mencatat 753 nyawa melayang, 650 orang masih hilang, dan 2.600 lainnya luka-luka. Lebih dari 3,3 juta jiwa terdampak, dengan 531 ribu terpaksa mengungsi—angka yang disebutkan Liputan6 seolah mempertebal duka yang belum kering. Wikipedia menuliskan kerugian ekonomi mencapai Rp 68,6 triliun, sementara lebih dari satu juta orang kehilangan tempat tinggal.
BMKG dan Walhi, melalui laporan yang dikutip Tirto, menyebutkan bahwa air bah itu bukan hanya datang dari langit. Deforestasi, alih fungsi lahan, serta tambang ilegal yang merongrong tubuh pulau telah membuat tanah tak lagi kokoh. Sumatera, dalam catatan itu, seperti tubuh manusia yang kehilangan kulit pelindungnya.
Di tengah hiruk-pikuk berita dan deru evakuasi, sebuah suara dari timur Indonesia ikut mengalun—pelan, namun menembus jarak. Adrianus Ndu Ufi, warga Desa Mata Air di Kupang Tengah, Nusa Tenggara Timur, menulis sebuah surat terbuka yang tersebar luas di Facebook dan jagat maya. Judulnya “Tentang Bumi yang Terluka dan Tangan-Tangan yang Menyamar”—sebuah judul yang terasa seperti syair, namun menyimpan amarah yang tenang.
Surat itu ditujukan kepada Presiden RI Prabowo Subianto, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Menteri Pertambangan, hingga para Gubernur, Bupati, dan Wali Kota di seluruh Indonesia. Dengan bahasanya yang jernih sekaligus tajam, Adrianus menulis:
“Banjir yang melanda tiga provinsi di Sumatera bukanlah sekadar bencana alam. Ia adalah jeritan bumi yang tak lagi mampu menahan luka.”
“Jangan biarkan warisan kekuasaan menjadi warisan kehancuran. Jadilah pemimpin yang berani memutus rantai kerusakan.”
“Kami tidak menolak pembangunan. Tapi kami menolak pembangunan yang dibayar dengan nyawa hutan, sungai, dan udara bersih.”
Surat itu dibagikan ribuan kali. Bukan karena dramatis, tetapi karena jujur. Karena ia lahir dari kegelisahan seorang warga yang merasa bahwa tanah airnya sedang kehilangan air—dan kehilangan tanah.
Adrianus, dalam suratnya, bukan sekadar menegur. Ia mengetuk pintu nurani para pemimpin bangsa:
• Kepada Presiden Prabowo Subianto, ia meminta ketegasan untuk menindak pelaku perusakan hutan dan tambang ilegal.
• Kepada Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup serta Menteri Pertambangan, ia menyerukan penguatan regulasi dan penghentian izin-izin yang memanipulasi alam demi untung sesaat.
• Kepada 38 Gubernur dan semua kepala daerah di Indonesia, ia mengingatkan bahwa keselamatan rakyat tidak boleh dikorbankan atas nama pembangunan.
Surat itu menjadi semacam gema yang menyatukan suara banyak orang—mereka yang percaya bahwa bumi bukan hanya tempat tinggal, tetapi ibu yang selama ini diam ketika disakiti.
Banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan hanya peristiwa. Ia adalah peringatan. Ia adalah ketukan keras di pintu bangsa.
Dan melalui suratnya, Adrianus Ndu Ufi menambahkan satu pesan yang tidak bisa diabaikan:
Indonesia tidak sedang kekurangan rencana, tetapi kekurangan keberanian.
Karena pada akhirnya, yang dibutuhkan negeri ini bukan deretan janji atau retorika panjang.
Melainkan tindakan nyata—untuk hutan yang hilang, sungai yang keruh, dan rakyat yang menunggu pemimpin yang berpihak pada kehidupan.(jrg)

Follow


















