UU Guru dan Dosen: Dimanakah Peran Perlindungan Hukum Terhadap Guru ?

  • Whatsapp
Lay A. Yeverson

( Sebuah Refleksi Kekerasan Terhadap Guru) Oleh : Lay A Yeverson

Menarik sekali ketika kita merefleksikan diri untuk mengingat sosok guru yang memiliki peran sangat penting dalam proses menciptakan generasi penerus yang berkualitas, baik secara intelektual maupun akhlaknya sehingga kelak dapat berhasil meneruskan estafet kepemimpinan bangsa. Ada yang mengatakan bahwa tugas dan tanggung jawab guru sangatlah berat, bahkan ada juga tak tertarik untuk menjadi guru. Namun yang pasti siapapun yang ingin menjadi guru maka tugas utamanya jelas sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Melihat tugas guru dan tanggungjawab profesinya selalu diperhadapkan pada tantangan yang sangat kompleks, dan seiring dengan adanya perubahan cara pandang masyarakat yang secara sadar terpengaruh oleh doktrin perlindungan hukum terhadap anak, termasuk anak didik. Sebaliknya perlu juga memperhatikan secara kompleks perlindungan hukum terhadap profesi guru yang dirasakan sangat lemah, karena dalam UU Guru dan Dosen tidak memuat ketentuan Pasal Pidana seperti pada UU Pers, bagi guru Ini sangat dilematis.
Dalam menjalankan profesinya, seorang guru terkadang menemui hal-hal di luar dugaan terkait perilaku siswa. Misalnya, berhadapan dengan siswa yang bertindak tidak sopan bahkan melakukan kekerasan terhadap guru.
Memang kita dapat membaca dalam UU Guru dan Dosen pada Pasal 39 ayat (1) UUGD menyebutkan bahwa “pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/ atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam melaksanakan tugas. Selanjutnya pada pasal (2) disebutkan bahwa “perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Persoalannya adalah hingga saat ini belum peraturan pelaksanaan yang secara teknis operasional mengatur berbagai macam perlindungan terhadap guru, termasuk perlindungan hukumnya. Akibatnya, ketika guru dihadapkan pada kasus hukum tertentu seperti mendapat penganiayaan verbal dan non verbal, intimidasi dari masyarakat ataupun pejabat, posisi guru seringkali menjadi sangat lemah karena pasal perlindungan hukum terhadap guru dan dosen tidak memuat ketentuan pidana. Ataupun sebaliknya kasus kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa seperti pemberitaan dalam link berita https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211111110719-12-719632/siswa-tewas-dianiaya-guru-di-alor-tersangka-kerap-lakukan-kekerasan yang membuat heboh dunia pendidikan di NTT.
Dalam kasus-kasus tertentu posisi guru selain diadukan sebagai pelaku kekerasan terhadap siswa, dalam beberapa kasus justru menjadikan guru sebagai korban kekerasan dari siswa dan/atau orang tua siswa.
Pada beberapa kasus sering kita dengar dan baca di media ditemukan ada guru dilaporkan melanggar hak perlindungan anak ketika guru memberikan sanksi pelanggaran disiplin terhadap siswa, jewer telinga, merotani siswa, bentak siswa, menyuruh siswa lari mengelilingi halaman sekolah atau membersihkan toilet, menyuruh siswa push up, menjemur siswa dan menghormat bendera dalam kondisi cuaca panas sampai akhir pelajaran,dan sebagainya di masa lampau sanksi atau hukuman disiplin seperti ini dianggap biasa atau “lumrah” didalam dunia pendidikan (penulis pun merasakan ini di era 80 an dan 90an), namun saat ini “dinilai” tidak lagi mendidik dan bahkan dianggap melanggar Undang-undang Perlindungan Anak.
Fakta di lapangan menunjukkan banyak guru belum memahami isi dari Undang-undang Perlindungan Anak. Karena pemahaman guru atas sanksi yang di berikan terhadap anak merupakan bentuk pembinaan, karena hukuman disiplin yang diberikan kepada siswa adalah hal yang biasa, mungkin pada saat dulu guru tersebut ketika menjadi siswa atau teman-temannya pernah mengalami hukuman disiplin seperti itu. Bahkan, ada yang dihukum dengan hukuman yang lebih keras dari pada yang disebutkan di atas. Misalnya betis kakinya dicambuk karena membully siswa atau melanggar aturan tata tertib sekolah. Sanksi disiplin seperti demikian waktu dulu atau dibeberapa sekolah saat ini tidak dianggap sebagai pelanggaran hukum akan tetapi guru harus semakin hati-hati dalam memberikan hukuman disiplin kepada siswa. Hukuman disiplin yang diberikan kepada siswa harus berpedoman kepada tata tertib sekolah dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Penulis melihat ini sebagai tantangan bagi seorang guru profesional agar mampu menciptakan suasana pembelajaran dilingkungan sekolah yang mambahagiahkan siswa. Akan tetapi dari sisi peserta didik terkadang sikap dan perilakunya dapat menjadi malapetaka bagi guru.
Banyak kasus guru menjadi korban kekerasan siswa bahkan ada juga yang datang dari orang tua siswa. Kasus kekerasan terhadap guru dalam bentuk pemukulan oleh siswa dan bahkan pembunuhan terhadap guru. Seperti pada link berita online
https://m.tribunnews.com/topic/guru-tewas-dianiaya-murid,
https://surabaya.tribunnews.com/2019/09/06/3-kasus-guru-dianiaya-wali-murid-dan-siswa-ada-yang-sampai-tewas-kejadian-terbaru-direkam-viral,
https://nasional.tempo.co/read/1056937/unggahan-terakhir-guru-yang-tewas-dianiaya-siswa-satu-satu-pergi.
Link berita diatas menjadikan sebagi bukti kekerasan yang dialami guru ketika sedang menjalankan tugas profesinya.
Selain itu ada juga kasus kekerasan yang baru saja terjadi pada 09 Maret 2022 yang dilakukan oleh beberapa siswa terhadap seorang guru agama di salah satu SMK Negeri … di wilayah kabupaten kupang, meskipun tidak seheboh kasus pada link berita online diatas. Namun melihat pada kasus kekerasan dalam bentuk pemukulan terhadap seorang guru yang dilakukan oleh siswa mestinya tidak lagi ada kata anak dibawah umur tetapi tetap diberlakukan dengan hukum positif.
Mengacu pada kasus di atas, terlihat bahwa posisi seorang guru sebagai tenaga pendidik seringkali berada pada posisi yang dilematis, antara tuntutan profesi dan perlakuan siswa atau masyarakat. Di satu sisi, mereka dituntut untuk mampu mengantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikan.
Namun di sisi lain, tatkala para guru berupaya untuk menegakkan kedisplinan, mereka dihadang oleh UU Perlindungan Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Jika mereka gagal menegakkan kedisiplinan peserta didiknya dan gagal mengantarkan peserta didik pada pencapaian tujuan pendidikan, sebagai pendidik guru sering kali dituding menjadi biangnya atas kegagalan tersebut. Persoalan yang paling krusial dihadapi oleh seorang guru adalah ketika harus memberikan hukuman kepada peserta didik yang melanggar tata tertib dan aturan sekolah dalam rangka menegakkan kedisiplinan, lagi-lagi orang tua dan masyarakat sering menilainya sebagai tindakan melanggar hak asasi manusia atau melanggar UU Perlindungan Anak. Mereka dengan mudahnya melaporkan tindakan guru tersebut kepada penegak hukum (Polisi atau KPAI). Akibatnya, dalam menjalankan tugas profesinya guru seringkali berada pada posisi dilematis dan bahkan rentan untuk dikriminalisasi.
Untuk itu pemerintah perlu melakukan revisi UU Guru dan Dosen. Perlu ada Bab Perlindungan terhadap guru dengan menuangkan ketentuan Pasal Pidana, serta ketentuan sanksi bagi guru yang melanggar kode etik pendidik . Ataupun segera menerbitkan peraturan pelaksanaan dari pasal 39 ayat (1) UU Guru dan Dosen di yang secara teknis mengatur perlindungan hukum terhadap guru dalam menjalankan tugas profesinya. Peraturan pelaksanaan tersebut harus secara tegas mengatur mengenai apa saja yang boleh dilakukan dan apa saja yang tidak boleh (dilarang) dilakukan oleh seorang guru terhadap peserta didiknya dalam memberikan sanksi disiplin. Tujuannya, agar di satu sisi guru dapat bekerja profesional tanpa takut dikriminalisasi, dan sebaliknya, melalui peraturan tersebut penegak hukum dan masyarakat juga mempunyai standar atau pedoman yang sama untuk menilai apakah tindakan guru kepada peserta didik dalam memberikan sanksi itu sesuai aturan atau melanggar aturan. Sanksi disiplin itu tentu saja harus bersifat mendidik. Sehingga menjadi ukuran adalah aturan peraturan pelaksana tersebut.
Bagaimanapun tuntutan atas perubahan UU Guru dan Dosen perlu diperjuangkan oleh organisasi profesi guru seperti PGRI, IGI, FSGI, untuk dapat memperjuangkan ke DPR RI dan Pemerintah Pusat agar Pasal perlindungan hukum terhadap guru dan juga pasal yang mengatur secara tegas mengenai apa saja yang boleh dilakukan dan apa saja yang tidak boleh (dilarang) dilakukan oleh seorang guru terhadap peserta didiknya dalam memberikan sanksi disiplin.

Komentar Anda?

Related posts