POLITISASI BENCANA di NTB: “ALLAH MARAH” & “DOSA JOKOWI”?

  • Whatsapp

Oleh: Redem Kono – Staf Pengajar di Calbis Institute Jakarta.

Gempa Bumi bertubi-tubi mendera saudari-saudara sebangsa di Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada awalnya gempa dengan kekuatan 6,4 skala Richter terjadi pada 29 Juli 2018. Sepekan kemudian, gempa dengan kekuatan lebih besar, 7 SR kembali mengguncang NTB pada Minggu petang, 5 Agustus 2018. Sedikitnya 91 orang meninggal dunia akibat dampak lindu kedua, jauh lebih banyak dari gempa sebelumnya yang menelan 20 korban jiwa. Tidak terhitung lagi kerusakan rumah, sarana dan prasarana publik.
Berbagai reaksi menanggapi bencana tersebut.

Tagar #Prayforlombok dikumandangkan sejumlah anak bangsa, dari dalam maupun negeri. Ajakan untuk berdoa minta ketabahan, berbagi-membantu para korban dan kerusakan dikumandangkan di mana-mana: mulai dari buruh, petani, pengusaha, pegawai, dan lain-lain muncul di mana-mana. Tampaknya bencana yang menimbulkan penderitaan di NTB memanggil solidaritas sesama anak bangsa.

Namun, ada tanggapan lain yang mengherankan. Jika kita mengunjungi akun instagram resmi Gubernur NTB Dr. Muhamammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB), maka akan mendapatkan tanggapan tersebut. Mayoritas tanggapan tersebut, pada intinya menuduh TGB “bertanggung jawab” atas gempa berturut-turut tersebut. TGB dinilai “dihukum Allah” karena pilihan politiknya saat ini.

Pilihan politik TGB mendukung petahana Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk maju lagi pada Pilpres 2019 mengirimkan bencana kepada rakyat NTB. Alur berpikir tanggapan di atas adalah, “Allah marah” kepada TGB karena mendukung Jokowi. Berarti ada “dosa/kesalahan” yang dibuat Jokowi sehingga mendukungnya membangkitkan amarah Allah.

Teologi yang dibangun di atas tanggapan ini adalah konsep Tuhan yang sangat mengerikan, menindak manusia ciptaan-Nya tanpa ampun. Allah tidak membuka ruang pengakuan akan keterbatasan manusiawi dan tidak memiliki sikap pengampunan atas kekeliruan manusiawi.

Yang mengherankan, bagi saya, adalah vonis “Allah marah” atau “dosa/kesalahan Jokowi”, ‘ataupun “bencana di NTB adalah amukan Tuhan” disuarakan oleh manusia yang notabene terbatas. Konsekuensinya, terdapat pihak-pihak tertentu, yang mengklaim paling mampu menangkap petunjuk tentang amarah-Nya yang dashyat.

Mereka menangkap “pesan amarah Tuhan” tersebut dalam tangis anak-anak yang kini kelaparan dan kedinginan, orang tua yang hancur karena kehilangan rumah, para pengajar yang mendapati sekolahnya yang menyisakan puing.

Tetapi apakah Allah seperti itu? Apakah Allah hanyalah sosok yang kejam; menghukum tanpa belas kasihan? Saya pun tidak dapat memberikan jawaban yang pasti, karena keterbatasan saya sebagaimana manusiawi. Akal budi manusia yang terbatas tidak dapat memahami sepenuhnya kemahakuasaan Allah. Tetapi, benarkah sosok Allah hanya seperti itu? Saya hanya membayangkan dunia kini akan kosong (baca: tak berpenghuni) karena setiap kali manusia berdosa, maka hukumannya adalah peniadaan atau kematian!

Rudolf Otto, seorang ahli teologi agama-agama, yang menurut saya, bisa meringkas pendapat saya. Menurut Otto, berdasarkan pengalaman pribadinya, manusia di hadapan Allah mengalami sekaligus mysterium tremendum et fascinosum. Dikatakan mysterium tremendum, artinya pengalaman menggentarkan di hadapan sosok Allah yang kuat, tegas, agung, berkuasa. Hingga manusia merasa tak berdaya di hadapan-Nya yang penuh agung.

Dikatakan mysterium fascinosum, artinya pengalaman merekatkan di hadapan sosok Allah yang penuh kasih dan maha baik, sehingga manusia yang berada di hadapannya mengalami keterpesonaan yang kekal.
Allah maha kuasa, tetapi ia maha kasih, sehingga Allah akan memperlakukan manusia penuh kasih di tengah kemahakuasaan-Nya. Kekuasaan Allah digunakannya untuk menebarkan kasih, agar sampai saatnya segala semesta dipenuhi kerajaan kasih. Maka, kekuasaan Allah adalah kritik terhadap kekuasaan dunia yang melawan kasih. Karena kasih pula, ia memberikan manusia kemampuan refleksif, supaya ada pertobatan dan ikhtiar memperbaiki diri.

Menghubungkan gempa bumi dengan “Allah yang menghukum” atau karena dosa orang lain, hemat saya, lebih merupakan politisasi atas bencana. Penderitaan tidak menjadi otoritas etis yang memanggil solidaritas, tetapi dijadikan sebagai agenda politik demi kepentingannya. Tangisan air mata korban disambut sinisme dan kemarahan, di mana kasih tidak menjadi substansi utama di tengah penderitaan itu. Pihak-pihak yang bersembunyi di balik politisasi mempermainkan teologi (metafisika) dalam politik, sehingga bencana pun dibaca dari sisi politis, bukan sisi etis.

Ajaibnya, cara pandang seperti ini justru banyak kali diajarkan pemuka agama. Rohaniwan/rohaniwati agama sering membenarkan cara baca politis atas gempa tersebut dengan doktrin-doktrin religius yang sengaja dikutipnya dari ayat-ayat tertentu. Saya tiba-tiba teringat Dosen Etika Sosial saya Otto Gusti yang menceritakan fenomen ini dalam sebuah roman terkenal berjudul Sampar, dari novelis cum peraih Nobel bernama Albert Camus (abad ke-19).

Diceritakan bahwa dalam Roman Sampar, terdapat satu tokoh penting yang bernama Paneloux, seorang Pastor Yesuit, ahli geografi yang bekerja di kota Oran, sebuah kota yang mayoritas penduduknya terkena penyakit sampar. Dalam salah satu khotbahnya untuk para korban penyakit sampar, Paneloux berkata: “Saudara-saudariku, saat ini kalian sedang bersusah hati. Dan kalian memang pantas mendapatkan itu!” Sampar adalah kutukan Tuhan! Cara untuk tidak terkena Sampar ataupun sembuh adalah bertobat! Paneloux tidak bersibuk dengan penjelasan ilmiah. Ia mengantar umatnya untuk menemukan jawaban yang pasti atas penderitaan mereka. Mereka akhirnya pasrah, tabah menanti apapun yang terjadi.

Apa yang dibuat Paneloux itu, hemat saya, juga terjadi dalam politisasi bencana ini. Penjelasan ilmiah tentang bencana tidak menjadi prioritas. Tidak ada penjelasan ilmiah bahwa gempa ini adalah buah dari tabrakan lempeng besar. Secara tektonik Lombok memang merupakan kawasan seismik aktif. Lombok berpotensi diguncang gempa karena terletak di antara 2 pembangkit gempa dari selatan dan utara. Dari selatan terdapat zona subduksi lempeng Indo-Australia yang menunjam ke bawah Pulau Lombok, sedangkan dari utara terdapat struktur geologi Sesar Naik Flores (Flores Back Arc Thrust).

Politisasi bencana seperti ini, hemat saya, sangat merugikan bangsa Indonesia. Energi bangsa tidak menyatu dalam solidaritas bersama membantu sesama anak bangsa yang kini menderita. Sungguh mengherankan apabila para korban tidak mendatangkan solidaritas, tetapi kemarahan. Bangsa kita pernah mengalami betapa penderitaan karena penjajahan justru menanamkan solidaritas dan rasa kebangsaan.

Soekarno mengutip Ernst Renan meringkasnya: bangsa Indonesia mulai bersatu atas dasar rasa senasib sepenanggungan, disatukan oleh pengalaman penderitaan.
Karena itu, politik kita, apalagi menjelang Pileg dan Pilpres 2019, harus mendepankan politik kebangsaan. Politik kebangsaan mencerminkan gagasan-gagasan penting yang berguna bagi pembangunan bangsa, bukan politik yang memecah belah dan menghasut kebencian. Politik seharusnya menjadi momen memoria kegembiraan, bukan ajang pertengkaran ataupun manipulasi isu-isu hoax dan SARA. Siapa yang mencerminkan politik kebangsaan, kita harus tegas memilihnya!

Komentar Anda?

Related posts