Kupang, seputar-ntt.com – Diskusi Publik bertajuk “Refleksi Kritis empat tahun kepmimpinan Viktory-Joss” yang digelar oleh Serikat Media Siber Indoensia (SMSI) Provinsi NTT sejatinya adalah panggung untuk pertanggungjawaban Viktor Laiskodat dan Josesf Nae Soi sebagai gubernur dan wakil gubernur yang telah memimpin NTT selama 4 tahun. Kegiatan yang digelar di Aula El Tari Kupang pada 8 September 2022 itu menghadirkan narasumber yang akan memberi catatan terkait penyelengaraan pemerintahan di NTT dibawah kendali Viktor Laiskodat dan Josef Nae Soi.
Empat orang pemateri dari latarbelakang berbeda hadir di panggung rekfleksi tersebut. Mereka adalah Wakil Ketua DPRD NTT, Dr Inche D. P. Sayuna, SH, M.Hum, M.Kn, praktisi pertanian UKAW Ir Zeth Malelak, M.Si, pengamat Hukum Tata Negara Undana, Dr. John Tuba Helan dan Rektor Unwira, Pater Dr Philipus Tule, SVD. Moderator dalam diskusi ini adalah dosen FISIP Unwira, Mikhael Rajamuda Bataona. Sejatinya ada 5 pemateri yang sudah bersedia hadir tapi sayangnya, anggota Komisi III DPR RI, Dr Benny K. Harman, tidak hadir padahal sudah bersedia untuk datang.
Viktor Laiskodat yang diberi kesempatan pertama untuk menyampaikan pencapaiannya, malah mempersilahkan para pemateri untuk lebih dulu memberi catatan atau penilaian. Menurutnya para pemateri juga para audiens tentu sudah memiliki catatan-catatan untuk disampaikan kepada dirinya. Dia juga mengatakan, seharusnya wakil gubernur juga ada, tapi karena ada tugas yang tidak bisa diwakilkan maka dia tampil sendiri untuk mendengar sekaligus mempertanggungjawabkan apa yang sudah mereka lakukan untuk NTT.
“Saya harus akui bahwa dalam membangun daerah ini tentu saja ada banyak kurangnya. Oleh sebab itu Ketika teman-teman dari SMSI datang menyampaikan niat mereka untuk menggelar kegiatan, saya memberi apresiasi kepada mereka. Untuk itu saya akan bersedia untuk mendengar lebih dulu apa saja kekurangan-kekurangan kami. Saya minta tidak usah puji-puji kami atau tidak usah bicara lebih-lebihnya. Sampaikan apa yang kurang supaya kami bisa berbenah,” kata Viktor Laiskodat.
Viktor Laiskodat mengakui, ada sejumlah janji kampanye yang dia belum laksanakan. Dia mencontohkan seperti janji untuk mengirimkan anak-anak NTT untuk belajar ke luar negeri setahun 2000 orang yang belum dilakukan. Dia juga memberi contoh seperti air bersih siap minum yang belum banyak dikerjakan. Apa yang belum dikerjakan itu kata Viktor bukan tanpa sebab. Pandemi Covid-19 adalah satu kendala yang dialami oleh seluruh dunia. Pandemi yang terjadi telah mengubah berbagai perencanaan maupun kegiatan yang akan dilakukan. Bukan hanya Covid, Badai Seroja juga adalah faktor lain yang turut mengganggu pekerjaan pemerintah dalam memmbangun.
Wakil Ketua DPRD NTT, Ince Sayuna yang menjadi pemateri pertama mengatakan, Viktor Laiskodat dan Josef Nae Soi harus meninggalkan legasi bagi masyarakat NTT. Untuk itu dirinya sebagai mitra kerja pemerintah yang ada di Lembaga DPRD memiliki tanggungjawab untuk memberikan peringatakan, masukan sekaligus solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi oleh pemerintah NTT dalam membangun. ”Beberapa program yang paling strategis, wujudkan itu sampai sukses dan menghasilkan bagi NTT saat ini dan kedepan. Untuk itu fokus pada dua atau 3 program, direncanakan dengan baik, dikerjakan oleh oleh pihak yang professional, diawasi pelaksanaanya dan evaluasi secara ketat. Hal ini penting agar menjadi monument sukses yang selalu dikenang,” kata Ince.
Ince Sayuna mengatakan, sejak tahun 2021 APBD NTT mengalami tekanan fiskal yang sangat berat akibat beban hutang yang cukup tinggi. Berbagai kondisi eskternal (covid, badai seroja) juga telah memperburuk kondidi fiskal kita. Sumber penerimaan masih mengandalkan dana transfer, target capaian PAD belum optimal dan hal ini menyebabkan keterbatasan pada ruang fiskal, kapasitas fiskal dan keseimbangan primer APBD yang kurang memadai. Kondisi demikian menyebabkan pemerintah memiliki ruang gerak yang terbatas dalam alokasi APBD untuk kepentingan pembangunan, pembayaran bunga serta pengembalian pinjaman daerah.
“Menghadapi situsi ke depan, Victory-Jos dapat membuktikan kepiawaiannya sebagai seorang entrepreneur yang teruji secara nasional untuk menghadirkan sumber sumber penerimaan baru yang dapat meningkatkan penerimaan daerah. Sebab jika sebaliknya, Viktori-Jos akan dikenang sebagai pemimpin yang mewarisi hutang,” katanya.
Dengan tekanan fiskal yang ada, kata Ince Syuna, Pemerintah harus lebih hati hati dalam memelihara displin anggaran karena taruhannya adalah nasib rakyat. Secara hukum, ada 3 (tiga) point penting yang harus selalu diingat yaitu : Kewenangan, Dasar Hukum dan Proses. Kebijakan untuk menggunakan dana mendahului perubahan harus sungguh-sungguh diletakkan dalam semangat PP 12 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, jo Permendagri 77 Tahun 2020 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah dengan tetap mengingat 3 point penting sebagaimana disebutkan diatas. Ketika pemerintah abai terhadap proses maka kebijakan tersebut bisa berkonsekuensi pertanggungjawaban secara hukum. Logika hukumnya adalah, proses yang salah tidak mungkin menghasilkan kebijakan yang legal.
DPRD dan eksekutif ujar Ince Syuna adalah unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam perannya sebagai badan perwakilan, DPRD berposisi sebagai kekuasaan penyeimbang (balanced power) yang mengimbangi dan melakukan kontrol efektif terhadap Kepala Daerah dan seluruh jajaran pemerintah daerah. Dalam konteks itu, DPRD dan Pemerintah Daerah memiliki hubungan kemitraan melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-masing. Kata kunci kemitraan adalah sinergitas, yakni membangun suatu hubungan kerja yang saling mendukung, bukan menjadi lawan atau bawahan dalam melaksanakan fungsinya masing-masing. Harus tercipta komunikasi politik yang berimbang dan bertanggungjwab antara kedua lembaga.
“Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang transparan, di sisa tahun terakhir ini, saya usul kepada Victory-Joss untuk mengintrodusir model pemerintahan yang “mau melihat dan dilihat” secara tembus pandang. Katakanlah NTT Supercoridor. Melalui model ini, pembangunan NTT dapat melihat dan dapat dilihat dari sudut 360 derajat. Tentu saja perlu terus dikembangkan sistem pemerintahan berbasis informasi teknologi,” tutup Ince Sayuna.
Kemudian, soal stunting dan kemiskinan, Inche menjelaskan data Study Status Gizi Indonesia (SSGI) ada 5 kabupaten di Provinsi NTT masuk dalam prevalensi 10 daerah dengan angka stunting tertinggi dari 246 kabupaten/kota yang menjadi prioritas percepatan penurunan stunting di Indonesia. Kelima kabupaten tersebut adalah TTS, TTU, Alor, SBD, dan Manggarai Timur. Bahkan TTS dan TTU menempati urutan pertama dan kedua yang memiliki prevalensi stunting tertinggi di Indonesia, karena berada di atas 46%.
Secara keseluruhan berdasarkan studi SSGI tahun 2021, NTT memiliki 15 Kabupaten berkategori merah, dengan ratio prevalensi di atas 30%. Dengan prevalensi stunting yang masih berada di atas 30% dan berstatus merah, menempatkan NTT pada urutan teratas daerah dengan angka stunting yang sangat tinggi dsbanding provinsi lainnya, dan sekaligus menjadikan NTT satu dari 12 provinsi yang menjadi prioritas daerah penangan stunting secara Nasional.(*joey/adv)