Tanah Untuk Rakyat : Kunci Sukses Swasembada Pangan dan Rakyat Sejahtera

Opini : Frits R. Dimu Heo,SH.Msi.

Saat ini kita sering mendengar berita soal mahalnya harga beras, sayur, dan daging. Pemerintah terus mendorong agar Indonesia mampu berswasembada pangan, yaitu untuk memenuhi kebutuhan makan dari hasil bumi sendiri, tanpa bergantung pada impor.

Akan tetapi persoalannya bukan saja soal pupuk atau cuaca. Masalah utama dan mendasar justru berada di tanah itu sendiri.

Banyak Tanah, jadi lahan tidur .

Indonesia memiliki jutaan hektar tanah. Tapi ironisnya, banyak yang tidak dimanfaatkan, hanya jadi lahan tidur. Di daerah – daerah, tanah adat atau tanah ulayat dikuasai oleh segelintir orang, namun tidak pernah ditanami atau dikelola untuk kesejahteraan rakyat. Tanah hanya jadi simbol prestise atau warisan, bukan sumber penghidupan.

Padahal, jika tanah-tanah itu dapat diolah, kita bisa menciptakan sawah, kebun, peternakan, bahkan lapangan kerja. Rakyat bisa bekerja, bisa makan, dan hidup lebih sejahtera.

Negara Harus Hadir dan Mengelola Tanah Tidur

Belum ada kata terlambat saatnya negara hadir dan mengambil alih tanah-tanah tidur yang tidak dimanfaatkan. Bukan untuk diperdagangkan ke investor asing, tetapi untuk dikelola bersama melalui sistem pertanian terpadu (integrated farming).

Pada sistem ini, negara membangun kawasan pertanian modern—menanam padi, beternak, membuat kolam ikan, dan memberdayakan masyarakat setempat sebagai pekerja, petani, dan pemilik bersama hasil panennya.

Belajar dari Israel dan Tiongkok

Israel punya sistem pertanian kolektif bernama Kibbutz, di mana warga komunal bekerja sama mengelola lahan, berbagi hasil, dan hidup mandiri. Hasilnya? Gurun bisa jadi ladang. Tidak heran banyak buah buahan yang kita nikmati impor dari sana seperti korma, apel, pir dan lainnya.

Tiongkok juga sukses mereformasi tanah pertanian dengan melibatkan negara dan rakyat. Mereka membentuk sistem kolektif yang membuat petani produktif, dan sekarang jadi negara eksportir pangan.

Aspek Hukumnya: Land Reform itu Konstitusional.

Land reform atau reforma agraria adalah amanat konstitusi. Dalam pasal 33 UUD 1945 jelas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Juga dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 membuka ruang bagi negara untuk melakukan redistribusi tanah, termasuk tanah adat yang tidak produktif, agar bisa dimanfaatkan untuk keadilan sosial.

Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 35/2012 dengan tegas menyatakan bahwa negara tetap punya kewenangan mengatur dan mengelola tanah adat, selama tidak menghilangkan hak kolektif masyarakat adat dan tetap mengutamakan kepentingan umum.

Artinya, negara punya dasar hukum yang kuat untuk bertindak, asalkan dilakukan dengan adil dan transparan.

Apa solusinya. Jawab : Jadikan Tanah Ulayat sebagai Tanah Komunal Negara.

Untuk menjawab tantangan pangan dan pengangguran, tanah ulayat yang dibiarkan tidur bisa dijadikan tanah komunal milik negara. Bukan untuk diprivatisasi, tapi untuk dikelola bersama. Negara membangun sistem, rakyat jadi pelaku utama.

Inilah cara paling adil agar tanah tidak hanya jadi simbol prestise atau warisan, tetapi jadi sumber penghidupan.

Kesimpulan: Tanah Harus Dihidupkan untuk Rakyat.

Jadi reformasi tanah bukan soal mencabut hak, namun masalahnya adalah bagaimana menghidupkan tanah agar bisa memberi makan rakyat. Jikalau tanah ini bisa ditanami dan hasilnya cukup, kita tak perlu bergantung pada impor. Dan yang paling penting: rakyat punya pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Tanah yang produktif akan membuat negara mandiri, rakyat sejahtera dan pasti swasembada pangan akan terwujud.

Semoga Tuhan berkenan.

📚 Referensi Bacaan:

1. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960

2. UUD 1945 Pasal 33 dan Pasal 18B (2) tentang hak ulayat masyarakat adat

3. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 – pengakuan hak ulayat

4. Aulia Oktarizka & Suhadi (2024), Land Reform dan Keadilan Agraria, Jurnal Kajian Konstitusi.

5. Wardhana (2022), Redistribusi Tanah di Papua: Studi Hukum dan Sosial, Kosmik Hukum.

6. World Resources Institute – Peta Jalan Pengakuan Hak Tanah Adat (wri-indonesia.org)

7. Studi Pertanian Kibbutz – FAO dan Israel Innovation Authority

8. Model Pertanian Tiongkok – Agrarian Reform in China, oleh Philip Huang.

CV PENULIS :

Penulis adalah lulusan S1 Hukum dan S2 Program Pasca Sarjana Study Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Bekerja di Bank NTT selama 30 Tahun dan sekarang memilih menjadi pemerhati masalah sosial dan hukum.

Tinggal di Kota Kupang NTT menikmati hidup bersama keluarga (slow living).(*)

 

 

 

 

 

 

Komentar Anda?

Related posts