Sabu Raijua Diambang Kehancuran

  • Whatsapp

Kupang, seputar-ntt.com – Nasib Ratusan pekerja tambak garam di  Kabupaten Sabu Raijua semakin tak menentu. Pasalnya, sejak Kejati NTT masuk mengobrak-abrik wilayah itu dengan sangkaan Korupsi pada proyek tambak garam, maka masa depan ratusan bahkan ribuan pekerja tambak garam menjadi suram. Kejati NTT telah menahan Kepala Dinas Perindag Sabu Raijua, Lewi Tandirura dan Sekretaris Dinas Niko Tari, dua orang yang berperan penting dalam dalam pembangunan tambak garam. Harapan masa depan dengan menemukan sumber uang untuk PAD oleh Pemerintah dibawah komando Marthen Dira Tome dan Nikodemus Rihi Heke bisa jadi hanya sekedar cerita pengantar tidur. Tol Laut Jokowi yang mengangkut ribuan ton garam dari Sabu Raijua bisa pulang dengan muatan kosong. Sabu Raijua kehilangan kebanggaan sekaligus menuju era kelam jika pemimpin dan masyarakat diwilayah itu tak mampu menyelamatkan situasi .

Tak bisa dipungkiri, pasca ditahannya Mathen Dira Tome oleh KPK pada November 2016 silam, Sabu Raijua seperti kehilangan marwah dan masyarakatnya seperti anak ayam kehilangan induk. Ada pihak yang bertepuk tangan dengan meriah sebab aroma Pilkada belum hilang dari bumi sejuta lontar itu. Mereka tak pernah berpikir tentang kelanjutan pembangunan di Sabu Raijua, atau konsekuensi dan pinalti dari Pemerintah pusat jika pembangunan di Sabu Raijua tidak berjalan sesuai waktu yang telah ditetapkan. Saat ini hampir tidak ada pekerjaan fisik yang berjalan di Sabu Raijua, akibat adanya rasa takut yang luar biasa yang menghinggapi para pegawai maupun masyarakat disana.

Untuk mengurai sengkarut persaolan di Sabu Raijua, Media ini berusaha untuk menemui Marthen Dira Tome di Rutan Kelas I Surabaya pada Rabu 26 April 2017. Sebagai orang yang telah berjuang untuk menemukan sumber PAD lewat Tambak Garam, Marthen Dira Tome secara tegas mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi adalah upaya sistematis untuk mengahancurkan masa depan Sabu Raijua sekaligus masyarakat diwilayah itu. Semua orang tahu bahwa ketika Sabu Raijua pisah dari Kabupaten Kupang, tidak ada sumber  yang bisa menghidupi daerah itu akibat kekeringan yang sangat masif dan terjadi sepanjang tahun. Masyarakat disana berjuang mempertahankan hidupnya dengan cara memaksimalkan penyadapan lontar, dan hanya itulah kebanggaan orang Sabu Raijua.

“Harus diakui, tidak banyak orang yang bisa beradaptasi dan memberi inovasi dengan baik di daerah itu. Banyak orang yang memilih untuk avoidens atau menghindari situasi sulit itu dan pergi untuk membangun kehidupan yang lebih layak diluar Pulau Sabu. Pulau Timor, Flores dan Sumba adalah negeri tujuan mereka. Dari sanalah mereka melihat Sabu sebagai negeri leluhur sekaligus kampung halaman,” Kata Dira Tome.

Mantan Kabid PLS pada Dinas Pendidikan NTT itu mengatakan, Ketika pemerintah menyetujui Sabu Raijua menjadi Daerah otonom baru dan memiliki pemerintah yang definitif, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah. Utamanya pada sektor pembangunan ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Sektor ekonomi lebih banyak bekerja bagaimana menekan angka kemiskinan yang meluas di daerah itu sekaligus penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat, baik yang bersekolah maupun yang tdak bersekolah.

Salah satu upaya yang sangat giat dilakukan dalam rangka penciptaan lapangan kerja dan menekan angka kemiskinan sekligus peningkatan PAD kata Dira Tome adalah pegerjaan tambak garam yang akan menyerap ribuan tenaga kerja di Kabupaten Sabu Raijua. Ini juga merupakan upaya untuk menghindari agar masyarakat tidak memilih hijrah ke Malaysia atau Negara lainnya sebagai TKI/TKW. Sementara, sebagai daerah otonom, tentu saja tidak hanya mengharapkan  Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pemerintah pusat, tetapi Pendapatan Asli Daerah Sendiri (PADS) harus  dipacu. Salah satu sumber adalah dari hasil penjualan garam.

Pembuatan tambak garam  Lanjut Dira Tome, tidak hanya bertujuan untuk membuka lapangan kerja dan memacu PAD semata, tetapi paling kurang, Sabu Raijua harus mengambil bagian dalam upaya menekan angka importir garam nasional sebagaimana amanah Presiden Joko Widodo. Semua orang NTT tahu bahwa Gubernur Frans Lebu Raya  pernah menetepkan lima kabupaten sebagai penghasil garam tetapi sampai hari ini belum ada yang berhasil. Sabu Raijua  memang tidak termasuk dalam wilayah yang menjadi program Gubernur, tetapi dengan sekuat tenaga berupaya agar program garam di Sabu Raijua bisa sukses.

“Rupanya, ada sekelompok orang yang tidak senang melihat kesuksesan ini. Pemufakatan jahat dilakukan dan melaporkan kepada penegak hukum dalam hal ini Kejati NTT. Malang benar nasib daerah itu, tanpa pengamatan yang cermat terhadap laporan bohong masyarakat, Kejati NTT melakukan unjuk kekuasaan dengan menetapkan tersangka sekaligus menahan pejabat-pejabat  yang sedang berjuang keras dan mencucurkan keringat serta tenaga membangun tambak garam dengan alasan telah terjadi kerugian Negara,” ungkap Bupati dua periode itu.

Akibat tindakan ini lanjut Dira Tome, ribuan orang Sabu Raijua telah kehilangan kesempatan kerja. Mereka tidak bisa segera mendapat lapangan kerja dari tambak garam sementara yang sudah bekerja tidak bisa menerima upah tepat waktu. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap mengepulnya dapur mereka. Tidak hanya itu, ratusan buruh di pelabuhan yang selama ini mendapatkan pekerjaan bongkar muat ribuan ton garam per bulan, kini tidak bisa tersenyum lagi. Para supir-supir truck dan pemilik angkutan yang setiap bulan mengangkut ribuan ton garam dari gudang ke pelabuhan juga mengalami hal yang sama. Inilah kondisi yang dialami oleh masyarakat di Sabu Raijua, akibat penegakan hukum yang dilakukan oleh Kejati NTT. Kejati NTT benar-benar telah menghambat pembukaan lapangan kerja di Sabu Raijua.

“Bisa saja Kejati NTT dalam penegakan hukum tidak mudah di stir oleh orang-orang yang berteriak dari pinggir jalan. Setiap laporan harusnya didalami secara cermat dan berkoordinasi dengan lembaga-lembaga auditor baik eksternal seperti BPK yang melakukan audit regular setiap tahun demikian juga inspektorat daerah. Akibatnya, kerugian Negara yang diumumkan oleh Kejati NTT yang mencapai angka 30-an miliar hanyalah sensasi yang telah membohongi masyarakat NTT. Betapa tidak, pembayaran geomembran pada pihak ketiga justru oleh Kejati dipahami sebagai kerugian Negara. Padahal, barang itu telah ada di masing-masing lokasi yang akan dibangun tambak di Sabu Raijua. Pembayaran itu, bukan tak berdasar. Pasalnya KPA dan PPK berpedoman pada Peraturan Presiden (Perpres) nomor 4 tahun 2015. Persoalannya, penyidik ingin menerapkan pasal yang berbeda dari apa yang digunakan oleh KPA dan PPK,” ungkap Marthen.

Kesuksesan tambak garam di Sabu Raijua, ungkap Dira Tome, tidak hanya diketahui oleh masyarakat diwilayah itu saja, namun juga menjadi perhatian dari berbagai kementerian yang dipimpin oleh tim dari BAPPENAS melakukan survey terhadap kebutuhan dan potensi pulau-pulau terluar. Sabu Raijua mendapatkan tambahan 20 hektar dari Kementerian Kelautan. Jika tambak garam di Sabu Raijua tidak memiliki prospek, tidak mungkin pemerintah pusat menggelontorkan dana untuk membantu Sabu Raijua dengan 20 hektar tambak garam pada tahun 2017 ini.

“Harus diakui bahwa dari sekian banyak pekerjaan pemasangan dan uji fungsi yang mesti dilakukan oleh para kontraktor masih ada yang belum terpasang. Ketika Kejati NTT, melihat keterlambatan ini sebagai kerugian Negara, saya pikir semakin tak rasional. Pasalnya,  keterlambatan pemasangan dipicu oleh persoalan tanah dan juga oleh persoalan alam, bukan hanya persoalan kontraktor semata. Ada sekelompok oknum DPRD yang sangat rajin dan secara rutin melakukan provokasi terhadap masyarakat untuk melakukan penolakan-penolakan terhadap pekerjaan itu baik dari orang Sabu yang ada di Sabu maupun orang Sabu yang ada diluar sabu tanpa mereka memikirkan tentang nasib dan masa depan masyarakat kecil. Dalam posisi ini,  Saya menghimbau kepada seluruh masyarakat agar tidak lagi terpengaruh dengan kebohongan yang dilakuakn oleh oknum-oknum ini karena mungkin mereka tidak ada kerjaan tetapi tetap menerima gaji dari daerah yang mencapai belasan juta rupiah setiap bulannya,” papar Marthen

Khusus untuk penegakan hukum, Marthen Dira tome juga menghimbau kepada masyarakat untuk mendatangai dan bertanya kepada Kejati NTT tentang proses hukum yang sementara dilakukan. Masyarakat tidak perlu takut dengan ancaman-ancaman dengan dalil menghalang-halangi proses pemeriksaan, karena mendatangi dan bertanya tentang proses hukum adalah hak setiap warga Negara.

Berkaitan dengan dengan pekerjaan embung-embung yang juga dianggap bermasalah hukum oleh Kejati NTT, bagi Marthen Dira Tome, inipun adalah bagian dari kebohongan kalau tidak mau disebut sebagai sebuah kebodohan. Pekerjaan embung-embung niat utamanya adalah untuk menyelesaikan masalah kekeringan yang masif, paling kurang hujan yang turun dengan deras tetapi hanya sesaat di Sabu Raijua tidak langsung mengalir ke laut tetapi tetap berada di darat. Dengan demikian akan banyak menolong masyarakat untuk mengairi petak sawah mereka tapi juga mereka gunakan untuk kebutuhan tanaman hortikultura dan tanaman lainnya seperti sayur-sayuran maupun bawang, sepanjang air itu masih ada.

Yang lebih penting lagi terjadi konservasi air tanah. Itu niat dari pembangunan embung di sabu raijua. Sebagai bukti, bisa disaksikan, produksi bawang merah di sabu raijua termasuk sayur-sayuran mengalami kenaikan yang sangat tajam setiap tahun. Orang sabu raijua tidak lagi kesulitan makan sayur. Embung-embung kecil yang dikerjakan dengan dana APBD II dengan cara swakelola telah membawa manfaat yang luar biasa bagi masyarakat kecil. Tidak hanya itu, kehadiran embung-embung di Sabu Raijua juga telah memberi dampak bagi ketahanan pangan bagi masyarakat diwilayah itu.

“Jika penegak hukum datang bertanya, mana air didalam embung dan lalu tidak ada air dalam embung itu lalu mengklaim bahwa embung tidak berfungsi maka ini juga adalah bagian dari kebodohan. Patut diberikan pencerahan bahwa ketika orang Sabu di kampung melihat air, mereka akan berusaha untuk menanam dan memanfaatkan air itu secara maksimal. Saya teringat ketika berjuang untuk membangun embung Guriola. Mulanya masyarakat tidak menerima pembangunan itu. Tapi ketika ditelusuri, ternyata bahwa bukan masyarakat itu yang protes, justru ada sekelompok  oknum anggota Dewan yang memprovokasi masyarakt disekitar embung Guriola. Mereka inilah yang memfasilitasi masyarakat untuk bertemu Gubernur maupun Kadis PU agar pembangunan embung dihentikan. Kepala dinas PU Provinsi juga dengan mudah membuat surat untuk menghentikan pekerjaan itu. Untung saja Menteri PU tidak terpengaruh dengan laporan maupun surat-surat yang dikirim kepada Menteri PU.  Saat itu saya menghadap Menteri PU dan Menteri mengatakan kepada saya untuk tidak menyerah. Saat itu saya menjelaskan kepada Menteri tentang kebutuhan mendesak daerah itu dan pada akhirnya Menteri PU menyetujui untuk melanjutkan pembangunan dan setuju untuk menambah lagi embung yakni Mare Punoa di Liae dan embung besar Delo di Sabu Barat. Pada tahun 2017 ini direncanakan akan dibangun embung besar lagi di Loborui dan di Depe,” urai Dira Tome

Ketika Embung Gurioa sudah jadi, tambah Dira Tome,  masyarakat sekitar mulai menikmati air yang ada untuk kepentingan pertanian, namun oknum-oknum dewan yang dulu melakukan provokasi sudah tidak berani lagi bicara tentang embung Guriola. Kenyataan ini diharapkan tidak boleh dilupakan oleh masyarakat sebab oknum-oknum ini  tidak akan diam, tapi akan berupaya merusak dimana-mana. Kembali kepada persoalan embung kecil yang sedang dipersoalkan oleh kejati NTT, bahwa kekurangan volume yang diumbar oleh penyidik Kejati NTT sebagai kerugian Negara mencapai 1,4 miliar.

“Patut disayangkan karena orang yang tidak berpendidikan sekalipun mengerti  kalau embung dikerjakan sejak tahun 2012 pasti sendimennya juga akan sangat banyak dan akan mempengaruhi volume embung-embung. Yang aneh, kenapa pihak pengak hukum tidak pernah melihat ini atau mendengar penjelasan Kadis PU yang lebih mengerti secara teknis tentang pekerjaan itu. Jika Kejati NTT melakukan penghitungan volume saat ini, ukurlah pula berapa tebal material yang masuk akibat terbawa air kedalam embung-embung itu sehingga bisa mengetahui volume yang sebenarnya. Yang kedua adalah, harus juga diukur secara keseluruhan dan tidak boleh mengambil sampel, karena ukuran embung-embung tidak sama semuanya. Ada yang lebih kecil, tetapi adapula yang lebih besar. Semuanya sangat tergantung pada kondisi lokasi. Embung-embung yang dkerjakan tidak dibangun disembarang lokasi, tapi hanya pada lokasi-lokasi tertentu . Yang ketiga, ukur pula kelebihan pekerjaan dari 100 menjadi 115 buah embung. Itu yang harus dilakukan supaya tahu secara persis apakah ada kekurangan volume atau malah kelebihan volume sehingga tidak dengan cepat menetapkan ada kerugian Negara yang terjadi. Sekali lagi saya minta kepada masyarakat Sabu Raijua jangan tinggal diam tapi sikapi persoalan ini dengan mendatangi dan bertanya kepada Kejati NTT. Biar persoalan ini lebih jelas sehingga tidak teropinikan pebajat di sabu Raijua sama dengan koruptor” pungkas Dira Tome. (jrg)

 

 

Komentar Anda?

Related posts