Kalabahi, seputar-ntt.com – Perwakilan pedagang di tiga pasar yakni Pasar Lama, Pasar Lipa dan Pasar Kadelang melakukan audiens bersama Komisi II DPRD Kabupaten Alor, Rabu, 5/2/2025 pagi.
Mereka datang menemui wakil rakyat untuk mendiskusikan permasalahan retribusi pasar yang naik secara signifikan.
Armadi Ahmad, salah satu perwakilan pedagang pasar menilai, kenaikan tersebut tidak sesuai prosedur, dan dilakukan secara sepihak tanpa adanya kajian berbasis data.
“Kami ingin mempertanyakan dasar kenaikan retribusi, kajian data seperti apa di lapangan terkait usaha dan persoalan yang dihadapi pedagang, sudah ada sosialisasi atau belum serta mekanisme sampai diterbitkannya peraturan daerah (Perda) ini,” ujarnya.
Atas berbagai pertimbangan, kata Armadi, seluruh pedagang menolak kenaikan retribusi karena sangat memberatkan ditengah gempuran pasar modern dan juga pasar online.
“Untuk itu kami minta agar DPRD dapat menunda kenaikan retribusi serta mengkaji ulang perda yang baru ini,” harapnya.
Ia lalu menjelaskan, sistem pembayaran retribusi sebelumnya lewat Perda Nomor 12 tahun 2011 adalah 7.500 per meter. Sementara di perda baru Nomor 1 Tahun 2024 hitungan per meter paling atas 60.000 rupiah.
“Sebagai contoh, sebelumnya kios di Pasar Lipa berukuran 2×3 meter, para pedagang membayar retribusi 45.000 hingga 50.000 rupiah per bulan, sedangkan kios di Pasar Kadelang yang ukurannya 3×3 meter dikenakan retribusi 67.500 rupiah per bulan. Nah sekarang perda baru dengan hitungan per meter maka tinggal dilakukan saja. Di Pasar Kadelang, pedagang bisa membayar retribusi mencapai Rp. 540.000 rupiah per bulan. Ini sungguh memberatkan pedagang ditengah persoalan komplek yang kami hadapi saat ini,” beber Armadi Ahmad.
Atas keresahan ini, Ketua DPRD Kabupaten Alor, Paulus Buche Brikmar, didampingi Wakil Ketua I, Yeremias Karbeka, Ketua Komisi II, Lagani Djou bersama anggota serta beberapa anggota dari Komisi III meminta agar Komisi yang bersangkutan secepatnya menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama dinas terkait.
“Jika memungkinkan, peraturan daerah ini ditinjau kembali. Bersama teman-teman, saya juga berjanji akan melaksanakan pengawasan secara baik karena aspek menajemen pengelolaan pasar di Kabupaten Alor sangatlah buruk,” tegasnya.
Brikmar juga menyampaikan, demi keadilan dan kemanusiaan, selama proses revisi ataupun mengkaji ulang perda yang baru, para pedagang tetap membayar retribusi berdasarkan peraturan daerah yang lama.
Sementara anggota DPRD Komisi III, Marjuki Kalake dalam pandangannya menyampaikan, kemungkinan besar aturan baru ini bukanlah peraturan daerah melainkan peraturan bupati (Perbup).
“Alasannya karena yang tanda tangan disini Pj Bupati, Zeth Libing,” kata Marjuki.
Ia menjelaskan, jika peraturan daerah maka pembahasannya ada di gedung Dewan Perwakilan Rakyat.
“Periode lalu saya di komisi yang mengurusi perda, dan kita tidak pernah pembahasan barang ini. Untuk itu kami atas nama keterwakilan masyarakat Alor akan mengawalnya. Komisi II segera gelar RDP dengan dinas terkait, termasuk Dinas Pendapatan. Kalau bisa perda yang mencekik rakyat ini ditinjau kembali, dan bila perlu dicabut,” tandas Marjuki.
Ditempat yang sama, Wakil Sekretaris Komisi II, Samsudin Daeng Sudarmi mengatakan, ada dua tata cara dalam pembuatan sebuah perda yakni bisa lewat inisiatif pemerintah, maupun lewat DPR.
“Dalam penyusunan perda ini akan melalui sebuah tahapan yang namanya public hearing. Proses ini si pembuat perda harus bertemu masyarakat yang terdampak akan perda tersebut,” ungkapnya.
Terkait persoalan ini, kata Sudarmi, pihaknya akan mengkaji ulang proses dan tahapan penyusunan perda tersebut.
“Intinya bahwa perda yang dikeluarkan itu bukan memberatkan tapi mempermudah masyarakat. Kita akan panggil pihak-pihak terkait di RDP nanti. Pada prinsipnya, hanya kita suci yang tidak bisa dirubah,” pungkasnya. (Pepenk)