Peningkatan Fungsi Pengorganisasian Badan Penghubung Daerah Provinsi NTT di Jakarta

  • Whatsapp
Share Button

RINGKASAN
BADAN Penghubung Daerah (BPD) Provinsi NTT merupakan salah satu Perangkat Daerah Provinsi NTT yang melaksanakan fungsi koordinasi pelaksanaan urusan pemerintahan dan pembangunan yang menjadi kewenangan Daerah dengan Pemerintah Pusat, sehingga mampu memberikan kontribusi nyata untuk pencapaian kinerja pemerintah. Untuk dapat mewujudkan tercapainya kinerja pemerintah diperlukan strategi tidak hanya menekankan aspek administratif semata (administrative heavy) tetapi juga melaksanakan manajemen (management heavy) yang baik.
Selain menjalankan fungsi koordinasi BPD Provinsi NTT juga mengelola sejumlah asset milik Pemerintah Provinsi. Pengelolaan asset-asset tersebut meliputi Wisma NTT di Jakarta, anjungan TMII, dan pengelolaan asset asrama mahasiswa di Depok serta asrama mahasiswa di Bandung dan Jogjakarta.
Sebagai perangkat daerah, seharusnya BPD Provinsi NTT menjalankan fungsi pengorganisasian secara optimal sebagai salah satu sistem manajemen apabila dikelola secara efektif dapat meminimalisir pemborosan keuangan termasuk pemborosan perjalanan dinas serta menciptakan dan memelihara semua sumberdaya termasuk aset-aset yang digunakan untuk aktifitas tertentu, kapan, dimana serta bagaimana sumberdaya tersebut digunakan. BPD Provinsi NTT harus menjadi organisasi yang cepat beradaptasi terhadap perubahan –perubahan di dalam lingkungan yang baru termasuk perubahan tatanan pemerintahan daerah. Prospek yang ditawarkan adalah mengelola perubahan agar sejalan visi Kepala Daerah Provinsi NTT tahun 2018-2023 yaitu “NTT Bangkit mewujudkan masyarakat sejahtera dalam Bingkai NKRI” serta untuk memenuhi misi : “Reformasi Birokrasi” untuk mewujudkan pelayanan publik berkualitas dengan penerapan sistem manajemen kinerja.
Untuk mendukung pencapaian kinerja organisasi melalui pemerintahan kolaboratif yang melibatkan stakeholder yang berinteraksi saling menguntung serta mendesain struktur organisasi yang efektif maka Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi NTT melakukan kajian untuk mewujudkan misi “Reformasi Birokrasi” dengan sasaran manajemen kinerja melalui strategi peningkatan fungsi pengorganisasian Badan Penghubung Daerah Provinsi NTT di Jakarta.
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa BPD Provinsi NTT memiliki peran yang belum optimal bila ditinjau dari fungsi pengorganisasian yang dibatasi pada struktur yang tergambar dalam struktur organisasi yang belum efektif serta kolaborasi yang dibangun masih bersifat formal dengan jejaring yang terbaas sehinga belum mampu menjawab persoalan-persoalan Pemerintah Provinsi NTT. Disamping itu, dari struktur organisasi BPD Provinsi NTT merupakan struktur mekanistik dengan pembagian tugas spesialisasi tidak fleksibel, meskipun pengendalian tugas sentralistik telah menunjang tugas koordinasi namun implementasinya belum optimal, memiliki hierarki rendah pada level eselon III (Kepala Badan) dan eselon IV (Kasubab/Kasubid).

PENDAHULUAN
Dalam rangka meningkatkan kinerja perangkat daerah, pemerintah telah menetapkan prioritas pembangunan pada penciptaan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa melalui pelaksanaan Reformasi Birokrasi. Tujuan akhir Reformasi Birokrasi adalah terwujudnya pelayanan publik yang prima (cepat, tepat, murah, transparan, dan akuntabel) dan peningkatan kinerja birokrasi yang semakin baik. Salah satu tantangan Pemerintah Provinsi NTT dalam meningkatkan kinerja organisasi adalah tantangan lingkungan (environmental challenges) yaitu lingkungan eksternal dan internal yang mempengaruhi kinerja organisasi. Oleh karena itu Pemerintah Provinsi NTT memerlukan sejumlah strategi untuk memaksimalkan semua potensi sumberdaya yang dimilikinya termasuk perangkat daerah yang ada dalam lingkup Pemprov NTT.
BPD Provinsi NTT sebagai salah satu Perangkat Daerah di lingkup Pemprov NTT yang berkedudukan di Jakarta berkedudukan dibawah dan bertanggungjawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah memiliki peranan yang sangat penting dalam mendukung Gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Perangkat Daerah ini merupakan unsur penunjang koordinasi pelaksanaan urusan pemerintahan dan pembangunan dengan Pemerintah Pusat. Namun dalam implementasinya, fungsi penunjang koordinasi yang masih terbatas pada perangkat daerah tertentu untuk sekedar menghadiri pertemuan/rapat. Sedangkan koordinasi antar dinas/badan teknis lingkup Pemerintah Provinsi NTT belum berjalan dan berdampak pada high cost perjalanan dinas luar daerah dari setiap perangkat daerah.
Persoalan yang dihadapi BPD Provinsi NTT adalah persoalan pengorganisasian yang belum efektif. Salah satu unsur penting dalam pengorganisasian adalah kolaborasi. Kolaborasi yang dibangun belum bertujuan membuat dan menerapkan kebijakan publik, mengelola program atau aset publik. Selain kolaborasi, dalam tingkatan tertentu, struktur organisasi BPD Provinsi NTT yang tergambar dalam pembagian tugas dan fungsi belum berjalan efektif. Kewenangan sesuai amanat PP Nomor 18 tahun 2016 adalah kewenangan eselon II dimana Kepala Badan adalah Pejabat Administrator (eselon III) bertindak sebagai pengambil keputusan yang menjadi kewenangan Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama (eselon II) yang bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. Selain itu SDM yang tersedia masih terbatas sedangkan pelaksanaan tugas dan fungsi sangat luas yaitu sebagai penunjang pelaksanaan semua urusan pemerintahan di daerah baik Provinsi maupun kabupaten/kota
Mengacu pada kondisi ini, maka salah satu strategi yang dianggap tepat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi NTT untuk mewujudkan visi dan misi Pemerintah Provinsi NTT 2018 – 2023 adalah melalui peningkatan fungsi pengorganisasian Badan Penghubung Daerah Provinsi NTT. Untuk itu Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi NTT telah melakukan kajian strategis dengan Topik Peningkatan Fungsi Pengorganisasian Badan Penghubung Daerah Provinsi NTT di Jakarta.

METODOLOGI
Pengkajian strategis ini bersifat policy-oriented yang menekankan pada rekomendasi kebijakan yang rinci, dapat diterapkan (implementable) dan mengutamakan kepentingan pelayanan publik. Kajian Strategi dilaksanakan pada tahun anggaran 2018 yang dimulai pada bulan Nopember hingga Desember 2018. Penyusunan kajian strategis bersifat kualitatif dan deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode pertemuan dan diskusi dengan instansi terkait, dalam rangka memperoleh data primer. Perangkat Daerah utama adalah Badan penghubug Daerah di Jakarta. Informasi dari diskusi ini menjadi rujukan utama tentang kolaborasi dan struktur organisasi sebagai bagian dari fungsi pengorganisasian dalam manajemen organisasi publik. Kegiatan ini ditujukan untuk mengkaji lebih dalam yang dapat menjadi rujukan bagi Pemprov NTT guna meningkatkan fungsi pengorganisasian BPD Provinsi NTT.
Studi kepustakaan, meliputi buku, dokumen, jurnal akademik, media massa dan lainnya. Proses konsultasi dengan para pakar/tenaga ahli.

HASIL/TEMUAN
A. Kolaborasi
BPD Provinsi NTT merupakan salah satu perangkat daerah Provinsi NTT yang berkedudukan di Jakarta mempunyai fungsi penunjang koordinasi pelaksanaan urusan pemerintahan dan pembangunan dengan Pemerintah Pusat yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi” (Pergub NTT Nomor 88 tahun 2016).
Dalam menjalankan fungsinya, kolaborasi menjadi penting untuk membangun jaringan-jaringan kerjasama dengan pihak lainnya. Dalam implementasinya, BPD Provinsi NTT, berhadapan dengan sejumlah tuntutan pelaksanaan Tupoksi antara lain mengkoordinasikan kerjasama antar daerah, melaksanakan pembinaan masyarakat dan tugas kehumasan serta melakukan promosi dan mencari peluang investasi di daerah. Selain itu, tugas Delegatif atau tugas tertentu yang didelegasikan Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah seperti : a) Layanan Administrasi di Kemendagri; b) Forum Komunikasi (forkom) pada Kemenlu; c) Person in Charge (PiC) pada Investasi dan Perizinan Daerah di BKPM, dan d) Fungsi urusan teknis lain di daerah yang didelegasikan oleh Perangkat Daerah teknis kepada Badan Perwakilan untuk berhubungan dengan pihak kementerian/lembaga.
Memperhatikan fungsi ini, kolaborasi dengan pihak lain dalam suatu forum atau asosiasi atau sebutan lainnya secara formal dan informal dengan berbagai pihak lebih banyak ditemukan dalam kolaborasi terkait tugas pembinaan masyarakat dan kehumasan yang dilaksanakan oleh BPD Provinsi NTT. Peran dan kedudukan BPD Provinsi NTT berkenaan dengan kolaborasi dengan pihak lainnya dapat dibedakan atas :
1. Kolaborasi yang dilaksanakan dalam kedudukan dan perannya sebagai Perwakilan Pemerintah Provinsi NTT di Jakarta seper alam forum APPSI, Forum Kerja Sama MItra Praja, Forum Kerja Sama Kementrian Luar Negeri, Forum Kerja Sama Provinsi Kepulauan, maupun dalam investasi ana daerah serta pengembangan media promosi permanen di TMII dan kegiatan seni budaya.
2. Kolaborasi yang dilaksanakan dalam kedudukan dan perannya sebagai BPD. Merupakan kolaborasi dalam Forum Komunikasi Antara Badan Penghubung Pemerintah Seluruh Indonesia (FORKAPPSI) untuk kelancaran tugas pokok dan fungsi Badan Penghubung.

Selain bentuk forum/asosiasi atau sebutan lainnya, Badan Penghubung juga melakukan kolaborasi tanpa ada wadah dengan pemerintah maupun nonpemerintah, pihak swasta, Organisasi Kemasyarakatan, Paguyuban atau Ikatan Keluarga Besar, dll. Bentuk kolaborasi ini lebih bersifat tentatif, dan situasional.
Upaya untuk berkolaborasi yang dilakukan BPD Provinsi NTT merupakan kolaborasi yang dibangun oleh pemerintah (kolaboratif governance). Kolaborasi yang dilakukan terbangun dari pergerakan prinsip bersama (principle engagement) sebagai langkah awal dalam dinamika kolaborasi yang dibahas sebagai berikut :

1. Discovery
Pengungkapan (discovery) tidak lain adalah dinamika dari sebuah proses kerjasama yang mengungkapkan kepentingan masing-masing aktor, nilai-nilai aktor serta upaya konstruksi kepentingan bersama. Dinamika yang dibangun dalam wadah FORKAPPSI mengungkapkan adanya kepentingan bersama semua Badan Penghubung Daerah dari seluruh Provinsi di Indonesia bertujuan membangun komunikasi untuk kelancaran tugas pokok dan fungsi BPD. Kolaborasi ini dibangun karena adanya kesadaran kebutuhan FORKAPPSI sebagai sesama lembaga publik yang memiliki peran yang sama sebagai perwakilan masing-masing Pemerintah Provinsi yang berkedudukan di Jakarta.
Dinamika yang dibangun dalam FORKAPPSI untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial tidak sekedar membutuhkan diskusi-diskusi tapi membutuhkan koordinasi dengan pihak lainnya diluar FORKAPPSI. Menyadari hal tersebut, proses kolaborasi yang dibangun DALAM FORKAPPSI memerlukan jalan penyelesaian yang membutuhkan peran dan tanggungjawab semua pihak yaitu tokoh masyarakat NTT serta terutama pihak ketertiban dan keamanan.
Penyelesaian masalah konflik sosial dalam masyarakat dengan melibatkan keamanan adalah tindakan kolaborasi yang seimbang sesuai dengan peran dan tanggung jawab masing-masing. Hal yang perlu dipertimbangkan dalam kolaborasi untuk menyelesaikan konflik adalah ketika Badan Penghubung Daerah Provinsi NTT ditempatkan sebagai pengelola konsep kolaborasi karena memiliki kewenangan yang jauh lebih besar dibandingkan hanya menjalankan fungsi koordinasi. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Badan Penghubung Daerah Provinsi NTT pada tataran proses kolaboratif governance.

2. Deliberasi (Deliberation).
Deliberalisasi berkenaan dengan keluasan/keleluasaan untuk bertindak dalam kolaborasi sehingga tercipta ruang bagi proses kreativitas dan inovasi dalam kolaborasi. Diperlukan keluasan dan keleluasan dalam membangun kolaborasi dengan masyarakat padahal sumberdaya terutama SDM kurang memadai dengan pemahaman ketenagakerjaan yang terbatas pula menyebabkan Badan Penghubung Daerah Provinsi NTT hanya melakukan tindakan penangangan ketenagakerjaan dengan membangun koordinasi dengan 1) Dinas Nakertrans Provinsi atau Kabupaten/Kota sesuai asal tenaga kerja bermasalah; 2) Pihak Keamanan; 3) Tokoh/Ketua IKB sesuai asal Tenaga Kerja bermasalah; 4) menemui Tenaga kerja yang bersangkutan dan berdialog dengan majikan/pemberi kerja; 5) selanjutnya memberikan perlindungan dan pengamanan (memberikan tempat tinggal sementara, pengobatan fisik jika perlu, pakaian dan makanan); 6) selanjutnya memulangkan yang bersangkuta ke daerah asal atau mencari majikan baru yang bertanggung jawab.
Kolaborasi yang sukses, adalah kolaborasi yang memunculkan keahlian advokasi secara internal, kreativitas dan inovatif. Dalam hal ini, deliberasi atau keluasan dan keleluasaan untuk bertindak dalam kolaborasi penanganan Tenaga Kerja asal NTT di Jakarta belum menghasilkan inovasi-inovasi yang dilakukan adalah tindakan koordinasi antar daerah dalam penanganan masalah ketenagakerjaan.
Hal yang sama terjadi dalam penanganan masalah sosial seperti perkelahian antar pemuda/kelompok pemuda yang lazim terjadi. Badan Penghubung berupaya menangananinya dengan melakukan koordinasi dengan : 1) Pihak Keamanan; 2) Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota pihak yang berkonflik dengan masyarakat NTT melalui Badan Penghubung masing-masing; 3) mengajak tokoh NTT di Jakarta yang memiliki kemampuan untuk membantu; 4) Ketua atau yang dituakan dalam IKB, selanjutnya menyelesaikan permasalahan dengan cara kekeluargaan ataupun dengan menempuh proses hukum.
Deliberasi dalam kolaborasi membutuhkan keleluasaan bertindak, menurut Emerson, dkk. (2012) menegaskan bahwa deliberasi secara implisit berusaha untuk mendapat jawaban mengenai keberanian para aktor untuk bertindak leluasa dalam kerjasama, ada atau tidaknya tekanan dari pihak pemerintah sehingga membatasi tindakan kolaborasi atau ada paksaan harus berbuat demikian. Adanya proses demokrasi deliberatif sehingga mampu membuat kolaborasi menjadi wadah untuk mengembangkan inovasi dan kreasi baik dalam memunculkan ide maupun dalam menghadapi praktek kegiatan kolaborasi di lapangan yaitu bila ditemukan permasalahan tak terduga, maka setiap actor tidak takut akan bertindak kreatif karena tidak ada tekanan untuk harus bertindak sesuai yang diperintahkannya (Emerson, Nabatchi & Balokh, 2012: 112).
Inovasi dan kreatifitas yang dihasilkan dalam proses deliberasi akan menghasilkan kolaborasi yang efektif. Menurut Kaswan, 2012, kolaborasi yang efektif bisa menghasilkan proyek yang berkualitas, lebih baik, membuat tim lebih efisien, menciptakan lingkungan yang lebih sehat, meningkatkan produktifitas dalam jumlah yang besar dan memungkinkan pertumbuhan yang lebih besar dalam organisasi. Bisnis yang mengadopsi budaya kolaborasi akan muncul lebih kuat dan menguntungkan daripada pesaingnya yang mencoba menunda impelementasi kolaborasi yang diminta oleh ekonomi baru berbasis pengetahuan.

B. Struktur Organisasi
Badan Penghubung Daerah merupakan unsur penunjang koordinasi pelaksanaan urusan pemerintahan dan pembangunan dengan Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh seorang Kepala Badan dengan jabatan administrator atau setingkat eselon III (tiga) yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada gubernur melalui sekretaris daerah.
Struktur organisasi Badan Penghubung Daerah yang direflesikan dalam bagan organisasi (organization chart) sebagaimana ditampilkan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Struktur Organisasi Badan Penghubung Daerah Provinsi NTT

Struktur organisasi Badan Penghubung Daerah pada dimensi differensiasi vertical menunjukkan lokasi penanggungjawab pembuat keputusan (sentralisasi atau desentralisasi dan jumlah lapisan dalam hierarki). Struktur Organisasi Badan Penghubung Daerah Provinsi NTT berada pada dimensi differensiasi horizontal merujuk pada pembagian organisasi secara formal menjadi sub bidang – sub bidang yaitu Sub Bidang Hubungan Antar Lembaga, Sub Bidang Promosi dan Kerjasama Investasi dan Sub Bidang Pembinaan Kemasyarakatan dan Kehumasan.
1. Differesensiasi Vertikal
Struktur organisasi dalam dimensi differensiasi vertikal memperlihatkan rantai komando atau garis otoritas yang menghubungkan semua personil dalam tingkatan paling atas hingga tingkatan terendah. Dalam rantai komando tergambar kewenangan dan tanggungjawab Kepala Badan. Kewenangan Kepala Badan menurut PP Nomor 18 tahun 2016 adalah kewenangan yang bertanggungjawab kepada Gubernur melalui Sekretrais Daerah. meskipun secara administratf kepegawaian seorang kepala Badan Penghubung Daerah Provinsi NTT adalah pejabat administrator (eselon III). Meskipun dalam kondisi tertentu, Kepala Badan melapor pada atasan yaitu Sekretaris Daerah. Untuk memperoleh arahan atau petunjuk sebelum mengambil keputusan tetapi hampir sebagian besar pengambilan keputusan dilakukan Kepala Badan (selevel eselon II) yang mendelegasikan tugas dan tanggungjawab pada level bawah.

Secara hierarki kekuasaan membuat keputusan di level Kepala Badan dikenal dengan sentralisasi. Argument yang menguatkan adanya sentralisasi dalam organisasi adalah Kepala Badan berada pada posisi puncak (top manager) dalam struktur organisasi. Jika mengacu pada pendapat Hitt, dkk (dalam Kaswan, 2016: 106) argument untuk sentralisasi dengan alasan bisa memfasilitasi koordinasi sejalan dengan tugas Badan Penghubung Daerah Provinsi NTT dalam Peraturan Gubernur NTT Nomor : 88 Tahun 2016, yaitu : membantu gubernur melaksanakan fungsi penunjang koordinasi pelaksanaan urusan pemerintahan dan pembangunan dengan Pemerintah Pusat yang menjadi kewenangan daerah provinsi.
Penerapan pengambilan keputusan yang sentralisasi seharusnya membawa perubahan dalam organisasi namun dalam implementasinya pelaksanaan tugas Badan Penghubung belum optimal. Semestinya, sebuah organisasi yang sentralistik harus mengkonsentrasikan kekuasaan dan wewenang pada seorang individu atau tim manajemen, sentralisasi bisa memberi sarana kepada manajemen level untuk mendatangkan perubahan besar yang diperlukan (Hitt, dkk dalam Kaswan, 2016 : 108).
Dalam hierarki organisasi, Badan Penghubung Daerah Provinsi NTT memiliki 2 (dua) lapisan manajemen yaitu Kepala Badan dan Kepala Sub Bagian/Bidang merupakan organisasi yang kecil dengan hierarki yang rendah (flat hierarchies). Hasil wawancara menunjukkan bahwa jumlah lapisan dalam struktur organisasi, yaitu : kepala badan dengan 3 (tiga) kepala sub bidang dianggap tidak sebanding dengan beban kerja dan kewenangan dari setiap sub bidang justru mendatangkan kendala tersendiri. Sub bidang pembinaan masyarakat dan kehumasan yang setiap bulan selalu berurusan dengan masalah pekerja asal NTT di Jakarta yang sering mengalami tindak kekerasan dan Sub Bidang Hubungan Antar Lembaga yang sering menghadiri kegiatan – kegiatan rapat / koordinasi dengan berbagai kementerian dan lembaga.
Para penstudi manajemen menemukan bahwa jumlah itu biasanya empat sampai delapan bawahan pada tingkat atas organisasi. Jadi jumlah bawahan umumnya lebih sedikit di level puncak dan lebih banyak di level bawah atau rentang kendali lebar pada tingkat bawah dan sempit pada tingkat pusat ( Koontz dan Weihrich, 1993: 440).

2. Differensiasi Horisontal
Differensiasi horizontal merujuk pada tingkat diferensiasi antara unit-unit berdasarkan orientasi para anggotanya, sifat dari tugas yang mereka laksanakan dan tingkat pendidikan dan pelatihannya. Semakin banyak jenis pekerjaan yang ada dalam organisasi yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang istimewa, semakin kompleks pula organisasi tersebut. Adanya pembagian kerja menunjukkan bahwa Badan Penghubung Daerah Provinsi NTT merupakan organisasi yang memiliki spesialisasi pekerjaan. Oleh karena itu penempatan PNS seharusnya berdasarkan spesialisasi yang dapat menggerakkan organisasi untuk mencapai tujuan.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. KESIMPULAN,
1.1. Badan Penghubung Daerah Provinsi NTT memiliki peran yang belum optimal bila ditinjau dari fungsi pengorganisasian yang dibatasi pada struktur yang tergambar dalam bagan organisasi yang belum efektif serta kolaborasi yang tergambar dalam perilaku belum menjawab persoalan-persoalan Pemerintah Provinsi NTT.
a. Kolaborasi :
Kolaborasi yang dibangun bersifat formal dengan jejaring terbatas yang menempatkan Badan Penghubung Daerah Provinsi NTT dalam fungsi koordinasi untuk promosi potensi dan produk unggulan daerah, investasi, budaya. Dalam perkembangannya, kolaborasi yang dilakukan Badan Penghubung Daerah Provinsi NTT masih bersifat insidentil dan belum menghasilkan kualitas deliberasi karena keterbatasan sumberdaya dan keahlian advokasi untuk mengembangkan inovasi dan kreatifitas.
b. Struktur Organisasi :
Struktur organisasi Badan Penghubung Daerah Provinsi NTT merupakan struktur mekanistik dengan pembagian tugas spesialisasi tidak fleksibel, meskipun pengendalian tugas sentralistik telah menunjang tugas koordinasi namun implementasinya belum optimal, memiliki hierarki rendah pada level eselon III (Kepala Badan) dan eselon IV (Kasubab/Kasubid).

2. REKOMENDASI

Keberadaan Badan Penghubung Daerah Provinsi NTT berperan penting sebagai perwakilan dan koordinasi, maka perlu strategi peningkatan fungsi pengorganisasian Badan penghubung Daerah Provinsi NTT, maka beberapa rekomendasi yang dirumuskan sebagai berikut :
2.1. Kolaborasi :
a. Meningkatkan peran Badan Penghubung Daerah Provinsi NTT sebagai elemen utama fungsi eksternalitas Pemerintah Provinsi NTT di tingkat nasional.
b. Meningkatkan peran Badan Penghubung sebagai Perwakilan Pemerintah Provinsi NTT ditingkat nasional dalam berbagai aspek dan dimensi pemerintahan, pembangunan dan layanan kemasyarakatan.
c. Meningkatkan kegiatan-kegiatan publikasi tentang masyarakat dan daerah NTT dalam berbagai aspek dan dimensi.
d. Meningkatkan koordinasi dalam penjaringan informasi dan pembentukan relasi nilai tambah bagi kepentingan masyarakat dan daerah NTT.
e. Meningkatkan sinergisitas pemerintahan, pembangunan, layanan kemasyarakatan terkait dengan masyarakat dan daerah NTT.
f. Meningkatkan perilaku kolaboratif yang terdiri dari perilaku yang yang membangun “share meaning”secara terus – menerus dan bertindak leluasa untuk mengembangkan inovasi.
2.2. Struktur Organisasi :
a. Desain struktur formal yang mempunyai tingkat informalisasi komunikasi dengan membentuk Tim Kolaborasi terdiri atas pemerintah dan swasta serta masyarakat yang memiliki kemampuan serta ketrampilan interprofesional dengan sasaran :
(1) Mempermudah Pemerintah Provinsi NTT melakukan komunikasi dan membuka jejaring secara luas dengan pemerintah, swasta dan masyarakat.
(2) Bertindak sebagai juru bicara Pemerintah Provinsi NTT dalam membangun kolaborasi dengan pihak lain.
(3) Mengembangkan diseminasi informasi dan public awareness campaign di berbagai wilayah baik dalam maupun luar negeri dengan bekerjasama dengan berbagai pihak.
(4) Mendorong joint venture dalam bentuk investasi bisnis.
b. Desain struktur organisasi disarankan untuk ditingkatkan dari eselon III menjadi lebih tinggi dengan dasar pertimbambangan bahwa kewenangan eselon III adalah kewenangan fungsi taktis sedangkan kewenangan eselon II adalah fungsi strategis maka kewenangan Badan Penghubung Daerah Provinsi NTT jika ditempatkan pada fungsi strategis akan semakin dekat dengan pencapaian tujuan yang visioner yang menjadi kewenangan eselon I.

Tim Pelaksana Penelitian: Thomas Bangke, SE. M.Si (Pengarah), Wehelmina Lodia Kause, ST. M.Si (Ketua), Johny Ericson Ataupah, SP, MM (Anggota), Selsus Terselly Djese, S. Fil (Anggota), Dr. Drs. Jusuf L. Rupidara, M, Si (Pakar / Anggota)
(Advetorial Kerjasama Balitbangda NTT dengan seputar ntt)

Komentar Anda?

Related posts