Menang Praperadilan, Kejari Alor Akan Kembali Bidik Tersangka Baru

  • Whatsapp

Kalabahi, seputar-ntt.com – Usai menang dalam sidang gugatan praperadilan yang diajukan tersangka Alberth N Ouwpoly pada kasus dugaan tindak pidana korupsi DAK 2019 di Dinas Pendidikan, Kejaksaan Negeri (Kejari) Alor akan kembali membidik tersangka baru dalam kasus ini.

Hal ini disampaikan Kepala Kejari Alor, Samsul Arif, SH, MH ketika memberikan keterangan pers diruang kerjanya, Senin, 31/1/2022 petang.

Turut hadir pada kesempatan ini Kasie Pidsus, Ardi P. Wicaksono, SH, Kasie Intel, Gde Indra Prabowo, SH, dan Kasie Datun, Rudy Kurniawan, SH, MH.

“Teman-teman tunggu kejutannya saja. Kalau sudah memenuhi dua alat bukti, kami tetapkan tersangka baru lagi. Siapa orangnya, jumlahnya berapa, Kita lihat beberapa minggu ke depan. Kita masih melakukan pengembangan dan dalami perkara ini,” tegasnya.

Dikatakannya, pihak Kejari masih tetap fokus pada kasus yang sementara bergulir dengan terus melakukan pemeriksaan secara rutin terhadap para saksi-saksi yang ada.

Berkautan dengan putusan praperadilan yang menolak semua permohonan pemohon (tersangka), Kajari Samsul Arif membeberkan, yang menjadi pokok permohonan pemohon melalui Penasehat Hukumnya yakni tidak sahnya penyidikan yang dilakukan Kejari Alor atau tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan, tidak sahnya penetapan tersangka, tidak sahnya penahanan tersangka, serta tidak sahnya perhitungan kerugian negara yg dilakukan Irda Kabupaten Alor.

“Dalam putusan praperadilan tersebut menyatakan penetapan tersangka dan penahanan tersangka telah sah menurut hukum, dimana telah cukup bukti atau minimal telah memiliki 2 alat bukti yang sah untuk menetapkan pemohon sebagai tersangka. Alat bukti yang dimaksud, keterangan saksi, keterangan ahli, dan surat yang telah ditemukan penyidik Kejari Alor,” ujarnya.

Lanjut Kajari, terhadap isu yang beredar terkait kewenangan Irda Kabupaten Alor dalam melakukan penghitungan kerugian negara, bahwasanya berdasarkan penjelasan susunan Pasal 31 Ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, Jo UU Nomor 20 tahun 2001 yang dimaksud secara nyata telah ada kerugian negara adalah kerugian yang sudah bisa dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.

“Berdasarkan Pasal 20 Ayat 4 UU Nomor 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan yang berbunyi “Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dilakukan pengembalian kerugian keuangan negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diputuskan dan diterbitkannya hasil pengawasan”. Dari bunyi pasal tersebut dapat dipahami bahwa APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah) termasuk didalamnya Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP) maupun Inspektorat Jenderal, Inspektorat Utama, maupun Inspektorat-Inspektorat pada Pemerintah Daerah, juga memiliki kewenangan dalam menghitung kerugian negara/kerugian keuangan negara,” beber Arif.

Mengenai kewenangan jaksa dalam melakukan penyidikan, sambung Samsul, dalam sudut pandang internasional yang disepakati secara aklamasi oleh anggota PBB termasuk Indonesia, jaksa juga berwenang menyidik.

“Dalam butir 11, peran jaksa bukan saja menuntut tetapi juga investigasi dan supervisi. Beginilah bunyi ketentuan dalam pedoman peran jaksa yang telah disepakati seluruh anggota PBB,” ungkapnya.

Berkaitan dengan apa yang terjadi, kata Samsul Arif, pada prinsipnya Kejari menghargai setiap upaya-upaya hukum yang diajukan oleh Kuasa Hukum atau Penasehat Hukum Tersangka, namun pihaknya juga meningatkan jika ada orang-orang yang berniat jika dengan sengaja menghalang-halangi penyidikan secara langsung maupun tidak langsung dapat dipidana berdasarkan pasal 21 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tipikor, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001.

Setiap orang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung dan tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa atau saksi dalam perkara korupsi dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp 600 juta,” imbuh Syam, sapaan akrab Kajari Alor.

Ia menandaskan, dengan tolak ukur bahwasanya tipikor bersifat tindak pidana yang luar biasa (ekstra ordinary crime) karena bersifat sistemik, endemik yang berdampak sangat luas yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga melanggar hak sosial ekonomi masyarakat luas, sehingga penindakannya perlu upaya komprehensif sejalan dengan petunjuk teknis pola penangganan tindak pidana khusus yang berkualitas oleh jaksa agung muda tindak pidana khusus. (*Pepenk)

Komentar Anda?

Related posts