Oleh: Frits Robert Dimu Heo,SH.Msi*)
Indonesia tengah menghadapi paradoks besar. Data UNESCO menyebut minat baca masyarakat kita hanya 0,001%—artinya dari 1.000 orang, hanya satu yang benar-benar suka membaca. Riset World’s Most Literate Nations (2016) bahkan menempatkan Indonesia di urutan 60 dari 61 negara dalam hal literasi. Namun, di sisi lain, laporan We Are Social 2024 menunjukkan masyarakat Indonesia justru sangat aktif di media sosial, rata-rata lebih dari 3 jam per hari.
Pertanyaannya, mengapa kita begitu malas membaca, tetapi begitu rajin “berteriak” di dunia maya?
Budaya Lisan dan Pendidikan yang Gagal Literasi :
Antropolog Koentjaraningrat menjelaskan bahwa sejak dahulu masyarakat kita terbiasa dengan budaya tutur. Cerita rakyat, nasihat, hingga sejarah diwariskan lewat lisan, bukan tulisan. Tidak heran membaca tidak pernah mengakar sebagai kebutuhan.
Kondisi ini diperparah oleh sistem pendidikan. Paulo Freire, pakar pendidikan kritis, menegaskan bahwa membaca bukan sekadar mengenal huruf, melainkan melatih kesadaran kritis. Sayangnya, sekolah-sekolah kita masih menekankan hafalan dan nilai ujian, bukan analisis bacaan. Akibatnya, siswa belajar membaca hanya sebagai kewajiban, bukan sebagai kebutuhan hidup.
Dominasi Budaya Visual :
Era digital memperparah keadaan. Teoritisi media Marshall McLuhan menyebut manusia cenderung lebih cepat merespons visual dibanding teks. Inilah mengapa drama Korea, gosip artis, dan politik sensasional lebih diminati ketimbang buku. Informasi singkat dan instan terasa lebih menyenangkan daripada bacaan panjang yang membutuhkan konsentrasi.
Saya teringat sebuah program televisi populer beberapa tahun lalu: “Ceriwis”. Judul ini kini terasa relevan sebagai cermin bangsa kita—malas membaca, tapi sangat ceriwis di media sosial, cerewet soal dunia artis, heboh soal politik, namun jarang berlandaskan pengetahuan yang cukup. Inilah bukti nyata: kurang baca = banyak bicara, tapi miskin substansi.
Belajar dari Negara Lain :
Banyak negara yang berhasil menjadikan membaca sebagai budaya. Finlandia misalnya, membangun perpustakaan modern di setiap kota hingga desa kecil, dengan akses gratis bagi semua warganya. Hasilnya, skor literasi siswa mereka selalu di peringkat atas PISA.
Jepang punya cara unik: komik (manga) dijadikan pintu masuk literasi. Anak-anak terbiasa membaca sejak dini, bahkan orang dewasa pun tetap setia membaca di kereta. Sementara Korea Selatan yang dahulu juga bermasalah dengan literasi, kini bangkit melalui kurikulum membaca, perpustakaan digital, dan kampanye publik yang masif.
Sebaliknya, negara seperti Afrika Selatan masih menghadapi masalah serius. Studi PIRLS 2016 menunjukkan 78% siswa kelas 4 tidak mampu memahami teks sederhana. Di Meksiko, survei INEGI 2019 mencatat 40% orang dewasa tidak membaca buku sama sekali dalam setahun. Bahkan di India, meski pasar bukunya besar, UNESCO 2019 melaporkan 287 juta orang dewasa masih buta huruf.
Mau Dibawa ke Mana Indonesia?
Jika tren ini terus berlanjut, kita hanya akan menjadi bangsa konsumen hiburan instan, bukan produsen gagasan besar. Sejarawan Azyumardi Azra pernah mengingatkan, lemahnya budaya baca akan membuat masyarakat mudah dimanipulasi oleh hoaks dan politik identitas.
Bangsa yang malas membaca tetapi cerewet di media sosial hanyalah bangsa yang gaduh, rapuh, dan mudah dipecah belah.
Jalan Keluar :
Membangun budaya membaca bukan pekerjaan semalam, tapi harus dimulai sekarang:
Akses murah dan luas. Buku serta perpustakaan digital harus tersedia secara gratis atau terjangkau.
Kebiasaan sejak dini. Keluarga menjadi sekolah pertama bagi anak untuk mencintai buku.
Literasi digital kreatif. Membawa isi buku ke format visual, komik, podcast, dan video ringkasan.
Keteladanan tokoh publik. Artis, pejabat, dan influencer harus tampil sebagai pembaca aktif, bukan sekadar penghibur atau penyebar sensasi.
Edukasi etika digital. Ajarkan masyarakat untuk membaca, memahami, lalu berbicara—bukan sebaliknya.
Penutup:
Membaca bukan sekadar kewajiban sekolah, melainkan fondasi berpikir kritis, etika berdiskusi, dan lahirnya inovasi. Jika Indonesia ingin maju, kita tidak boleh berhenti di budaya menonton, menggosip, dan bersuara gaduh di media sosial.
> “Bangsa yang besar adalah bangsa yang gemar membaca.” – Ki Hajar Dewantara
Referensi :
1. UNESCO Institute for Statistics, 2012 & 2019.
2. Central Connecticut State University, World’s Most Literate Nations, 2016.
3. OECD, PISA 2019 Results.
4. PIRLS 2016, International Association for the Evaluation of Educational Achievement.
5. INEGI Mexico, Módulo sobre Lectura, 2019.
6. We Are Social & Hootsuite, Digital Report 2024.
7. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, 2009.
8. Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, 1970.
9. Marshall McLuhan, Understanding Media, 1964.
10. Azyumardi Azra, berbagai tulisan literasi, 2010–2017.
*) CV PENULIS :
Penulis adalah lulusan S1 Hukum dan S2 Program Pasca Sarjana Study Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Bekerja di Bank NTT selama 30 Tahun dan sekarang memilih menjadi pemerhati masalah sosial dan hukum.
Tinggal di Kota Kupang NTT menikmati hidup bersama keluarga (slow living).(*)