Kupang, seputar-ntt.com – Ada banyak pertanyaan mengapa sampai saat ini kasus kekerasan dalam rumah tangga (KSDRT) masih sangat tinggi. Tingginya angka kasus KDRT bukan sekedar opini, tetapi fakta. Paling tidak bisa membaca data hasil pendampingan beberapa lembaga penyedia layanan yang ada di Kota Kupang. Rumah Harapan (RH) Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) misalnya, dalam Catatan Akhir Tahun 2023 mencatat sepanjang Tahun 2023, RH GMIT telah mendampingi 60 kasus kekerasan berbasis gender (KBG) dimana 18 kasus KDRT, 27 kasus kekerasan terhadap anak (KTA) , 15 kasus terhadap perempuan dewasa (KTP)-dewasa di luar KDRT dan sembilan kasus perdagangan orang. Sementara itu, LBH APIK NTT melalui Direkturnya, Ansy Damaris Rihi Dara saat menyampaikan Catatan Akhir Tahun 2023, Senin (22/1) 2024 di Kantor LBH APIK NTT menyebutkan kasus kekerasan seksual perkosaan dan percabulan mendominasi kasus yang dilaporkan ke LBH APIK NTT, mencapai 27% dari total kasus yang ditangani LBH APIK NTT. Selain kasus kekerasan seksual, kasus perceraian ditangani LBH APIK NTT mencapai 20% dari total kasus yang ditangani. Kasus lain yang mendominasi adalah kasus KDRT 15%, kasus KBGO 7 % (tujuh persen) dan kasus ingkar janji menikah enam persen (6%).
Baru baru ini warga masyaraat Kota Kupang dan sekitarnya dikejutkan dengan kematian Ibu Maria Yosephina Mey, seorang PNS, diduga dianiaya suaminya 12 Agustus 2024 lalu. Semua orang mengutuki perbuatan sumainya Albert Solo. Dalam krnologis kasus yang diberitakan berbagai media, korban yang sementara ke kantor ditunggui suaminya dan menganiaya hingga merengang nyawa.
Semua orang bertanya apakah tidak ada tetangga yang melihat peristiwa tersebut sehingga membiarkan penganiayaan tersebut dan menyebabkan kematian? Pengakuan para tetangga sebagaimana dilansir berbagai media mereka takut melerai karena suami korban mengancam siapa saja yang berani ikut campur.
Dalam banyak kasus KDRT yang menyebabkan korban mengalami luka ringan, luka berat, disabilitas bahkan kematian kebanyakan para teangga takut melerai karena takut didituduh mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Keluarga-keluarga yang mengurus urusan KDRT terkadang kesal karena sudah serius mengurus, korban menurut mereka akan memberi maaf kembali pelaku. Sehingga jika KDRT berulang mereka enggan mencampurinya.
Padahal Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) pasal 15 menyebutkan setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) wajib melakukan upaya-upaya sesuai batas kemampuannya untuk a. mencegah berlangsungnya tindak pidana, b. memberikan perlindungan kepada korban, c. memberikan pertolongan darurat; dan d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Dari pasal tersebut sebenarnya tetangga punya peran penting dalam mencegah tindak pidana KDRT.
Pdt. Sahertian Emy yang dihubungi media ini, Rabu (26/8) mengemukakan ketika perempuan mengambil langkah untuk melaporkan kekerasan yang menimpa dirinya, banyak warga, keluarga, bahkan sesama perempuan sendiri bukan menjadi support system yang solid buat diri korban.
Hal ini dibenarkan aktivis gereja di Jemaat GMIT Kaisarea BTN dan ibu rumah tangga (IRT), Aprilia Sirlalang, S.Sos. Korban yang mendapatkan KDRT dari suaminya dan melaporkan kasusnya dianggap membuka aib keluarga, dianggap istri yang tidak menjaga nama baik keluarga. Bahkan korban menjadi pergunjingan warga dan dianggap sebagai sumber persoalan dalam keluarga. Selama ini patriarki mendoktrin masyarakat istri yag baik adalah istri yang tidak boleh membantah omongan suami. Berbagai justifikasi dipakai untuk menganggap KDRT sebagai hal yang lumrah. “Kita perempuan belum menjadi support system yang baik juga. Terbiasa kalau ada persoalan menimpa perempuan atau keluarga kita stop pada mencari tahu dan mempergunjingkan tak habis-habisnya tanpa solusi. Hal ini juga melanggengkan KDRT,” ungkapnya.
Selama ini juga kasus KDRT tumbuh subur karena manipulasi dan eksploitasi tafsiran ayat-ayat suci Alkitab. Terhadap hal ini, Pdt. Paoina Bara Pa salah seorang Pengurus Rumah Harapan GMIT mengungkapkan sebagai pendeta perempuan dan laki laki ada perbedaan pilihan bacaan dan tafsiran. Dicontohkannya, Pdt. Laki laki lebih senang memilih ayat yang menguatkan hegemoni mereka seperti hai istri istri tunduklah kepada suami. Pendeta laki laki menghindari ayat yang meminta laki laki menghormati istri, merawat istri dan menghindari kekerasan sebagaimana Efesus pasal 5.
Dirinya saat berkhotbah akan memulai dengan ayat dan tafsir yang mendorong laki laki berubah dengan melayani dan merawat istri sebagaimana suami merawat dirinya.
Menjadi masalah ungkap Pdt. Paoina karena perspektif gender, perspektif korban dan perspektif feminis belum merata dimiliki para pendeta dan presbiter sehingga meskipun materi dan teks Alkitab ada issue kekerasan mereka akan menafsir patriarkhi.
“Dibungkam budaya”
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTT, Veronika Ata, SH, M.Hum yang biasa disapa Tory, Rabu (28/8) kepada media ini mengemukakan masyarakat masih menganggap KDRT sebagai urusan privat karena dibungkam budaya. Ada mitos bahwa kalau ada piring dan sendok dalam rumah bersentuhan, tidak boleh didengar oleh tetangga. Hal ini membuat istri dan anak mendiamkan KDRT.
Kedua menurut jebolan S2 jurusan Ilmu Hukum Undana ini masyrakat/tetangga cenderung menganggap bahwa KDRT adalah urusan setiap keluarga. Jika terjadi percecokan dalam rumah dan mengalami kekerasan, dibiarkan saja bukan urusannya
Selain budaya kata penerima penghargaan Indonesian Women of Change 2015 dari Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia di Jakarta 3 Maret 2015 lalu ini ada ketakutan menjadi saksi dan terintimidasi pelaku. Masyarakat belum mengetahui bahwa ada UU Perlindungan Saksi dan Korban dan UU PKDRT yang melindungi pelapor dan saksi.
Ditambahkannya mestinya pemerintah lebih banyak mensosialisasi berbagai regulasi yang ada agar masyarakat tahu bahwa jika terjadi KDRT harus melaporkan karena merupakan tindak kriminal. Mereka-pun dilindungi jika melapor dan menjadi saksi. Pasal 15 UU PKDRT mengatur hal tersebut.
Selanjutnya ujar mantan aktivis Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Undana ini diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal ayat (1) Seorang Saksi dan Korban berhak :a. memmperoleh atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
Ia menawarkan solusi pertama, setiap orang harus menyuarakan hak perempuan dan anak, serta melapor bila terjadi kekerasan, kedua sosialisasi secara lebih masih UU PKDRT, UU Perlindungan Anak dan UU Perlindungan Saksi dan Korban ketiga menumbuhkan keberanian untuk bicara tentang KDRT, perlu bekerjasama dan berkolaborasi dengan semua elemen masyarakat. “Mari kita hargai hak hak setiap orang dan hentikan kekerasan,” tegasnya.
“Literasi gender dan hukum”
Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Pdt. Emmy Sahertian, MTh yang dihubungi secara terpisah Rabu (28/8) mengungkapkan KDRT masih dianggap wilayah privat karena lilitan budaya patriarkhi. Sangat kuat dalam masyarakat bahwa soal domestik adalah otoritas suami dalam hal ini laki laki. KDRT selalu menjadi “tameng” kepemilikan dan kekuasaan suami/laki laki.
Pendeta yang mendedikasikan hidupnya bekerja untuk pekerja migran Indonesia non prosedural ini menegaskan ini soal literasi gender dan hukum yang tidak disiapkan Ketika mereka menikah. Mereka baru sadar ketika terjadi kriminal.
Menurut dia, perempuan/istri sangat tidak mau membuka atau melapor karena masyarakat patriarkhi selalu menstigma bahwa dia menjadi pemicu kekerasan itu. Dalam konteks ini, ruang pembelaan dan perlindungan tertutup baginya karena perempuan itu sudah “terbeli” putus (ini ada dalam kasus Mei).
Ditawarkan solusi jangka pendek perlu gerakan perspektif baru perlindungan perempuan dan anak. Jangan sebut gender karena banyak masyarakat yang alergi hasil studi kasus Bersama Gerakan Laki Laki Baru NTT. Sementara jangka panjang strateginya memasukan kurikulum GEDSI dalam bahan ajar sekolah minggu dan katekesasi.
Saatnya bersuara stop KDRT, jangan diam, jangan takut, jangan tunggu korban meninggal dunia, mengalami disabilitas baru mengutuk dan menangis. Itu tidak memberi solusi apa-apa. (non)