Kupang, seputar-ntt.com – Delapan hari mereka menjajaki Pulau Flores. Pulau yang memiliki nama asli Nusa Nipa itu, menjadi saksi derap langkah dua anak manusia yang memiliki hati untuk membangun negeri bernama Flobamora. Mereka adalah Simon Petrus Kamlasi dan Adrianus Garu. Hari pertama menginjakkan kaki di Pulau Flores tepatnya Ruteng, Calon Gubernur dan Wakil Gubenur NTT itu memulai ziarah politik mereka dari Makam Pahlawan Motang Rua dan menutupnya dengan nyala lilin dari pusara mendiang Frans Lebu Raya di Wataone, Adonara.
Sebagai Pemimpin NTT kelak, mereka sadar bahwa kemedekaan dan kebebasan saat ini adalah manisfestasi dari darah dan keringat para pahlawan serta pendahulu pembangunan. Tak hanya gegap gempita para relawan dan simpatisan yang menyambut mereka. Tidak pula hanya ritual adat dalam balutan budaya, tapi mereka juga disambut ritus dan doa yang didaraskan menuju ke langit. Di Pulau yang disebut Caboda Flora oleh orang Portugis itu, mereka tak hanya menebar janji semata, tapi mereka menanam cinta untuk dikenang oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Sebagai prajurit, SPK, sapaan akrab Simon Petrus Kamlasi, paham benar ketika rasa hormat dia terima, akan dia kembalikan pada tempat yang semestinya. Hal itu dia tunjukkan saat membungkuk menerima Rea Songke atau topi khas Manggarai dari Tokoh adat di wilayah yang terkenal dingin itu. Di sampingnya ada AG, sapaan akrab Andrianus Garu. Di sanalahlah AG dilahirkan. Dari sana pula pasangan ini memulai perjalanan politik mereka. Tak hanya menabur bunga di pusara Motang Rua, Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang dikenal dengan nama Paket SIAGA ini, juga mendatangi kampung asal Benediktus Mboi atau Ben Mboi. Gubernur NTT yang dikenal dengan semboyan pembangunan Operasi Nusa Hijau itu. Jika Ben Mboi berpangkat Brigadir Jenderal maka Simon Petrus Kamlasi yang berkunjung ke kampungnya juga berpangkat Brigadir Jenderal. Kata orang, burung sejenis akan hinggap pada dahan yang sama.
“Semesta akan selalu memberi restu pada setiap anat anak manusia yang lahir dari keluhuran jiwa. Saya memulai perjalanan politik ini dari tempat dimana Pak Andry Garu dilahirkan. Saya datang nyekar kepada makam Motang Rua, sosok legendaris dan pahlawan yang harus selalu ada dalam sanubari kita. Saya datang ke kampung asal bapak Ben Mboi. Seorang Jenderal yang telah merenda pembangunan di NTT lewat Operasi Nusa Hijau, Operasi Nusa Makmur dan Operasi Nusa Sehat. Semangat dan pengabdian dari Pak Ben Mboi adalah api yang membara untuk kita berkolaborasi membawa NTT kepada harapan setiap kita, untuk lebih maju dan mandiri,” kat Simon Petrus Kamlasi.
Kehadiran Simon Petrus Kamlasi dan Adrianus Garu tak hanya berbalut politik semata. Mereka sadar, riuh-rendah kontestasi hanya datang setiap lima tahunan, tapi hal baik yang diterima rakyat akan terpatri dalam sanubari. Karena itu, mereka memulai dari generasi dan penerus bangsa. Dari para siswa yang sedang menimba ilmu di sekolah, mereka menyerahkan bantuan beasiswa. Mereka menjadi saksi, ketika raut wajah bahagia terpancar dari para orang tua saat penyeraah beasiswa. Tak hanya beasiswa yang mereka berikan bagi anak didik, tapi mereka juga membantu dengan keramik untuk sekolah-sekolah yang masih berlantai tanah. Apa yang dilakukan oleh SPK adalah rasa cinta dia kepada sang ibunda, Janse Helena kamlasi yang berprofesi sebagai seorang guru. Dari sang Ibu, SPK belajar bahwa anak panah yang akan meluncur menuju masa depan adalah mereka yang disebut pelajar. Sehingga untuk mencapai sasaran, mereka harus dilesatkan dari busur yang tepat.
Tak hanya sekolah yang mereka datangi, tapi kampung adat tersisolir juga mereka sambangi. Melalui jalan terjal. Melewati punggung-punggung bukit dengan jalan yang tak rata, mereka tiba di kampung adat Rendu Ola di Desa Rendubutoee, Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Nagekeo pada Jumat, (6/9/2024) malam. Kedatangan Paket SIAGA ke Rendu Ola, adalah pesan bagi seluruh rakyat NTT bahwa tidak boleh ada yang terlewati dan tidak boleh ada yang tertinggal dalam derap Pembangunan NTT saat mereka memimpin nanti. Mereka datang untuk mendengar keluh-kesah rakyat yang terisolir. Mereka datang untuk merekam setiap persoalan untuk dibenahi. Bagi mereka, seorang pemimpin tidak boleh tidur tanpa memastikan rakyatnya tidur dalam keadaan perut terisi. Seorang pemimpin tidak boleh membiarkan rakyatnya tidur dalam kondisi perut kosong dan bangun dengan air mata di pelupuk.
Tak hanya Kampung Adat terisolir, Paket SIAGA juga mendatangi Kampung Adat Susumele Ende, di Desa Nuamuri, Kecamatan Kelimutu, pada Minggu (8/9/2024). Disana mereka disambut secara adat Lio. Dikenakan pakaian adat Ragi Lambu Luka Lesu. Raja Moni Nuamuri, Petrus Delu memberi restu kepada Paket SIAGA. Mereka sadar bahwa ada dua putra terbaik dari Ende yang maju dalam kontestasi Pilgub NTT. Walaupun begitu, Ende tetap harus menjadi proiritas bagi Paket SIAGA dalam Pembangunan NTT lima tahun kedepan. Ende tak hanya menjadi tempat bersejarah dimana sang proklamator diasingkan, tapi disanalah Bung Karno menemukan lima sila Pancasila yang kini menjadi dasar negara republik Indonesia.
“Menjadi pemimpin harus menanggalkan segala kepentingan pribadi dan kelompok. Pemimpin tidak boleh memiliki sekat karena dia adalah milik rakyat. Hanya dengan kerja-kerja kolaborasilah kita akan mampu melakukan akselerasi pembangunan di NTT yang kita cinta ini. Itulah kenapa kami berkeliling untuk mencatat setiap potensi dan setiap persoalan yang ada di wilayah NTT. Potensi kita kembangkan dan persoalan kita benahi. Kita memang tidur di kamar yang berbeda tapi kita memiliki mimpi yang sama yakni NTT yang maju dan mandiri,” tegas Simon Petrus Kamlasi.
Pada hari kedelapan dalam perjalanan Politik Paket SIAGA mereka tiba di Kota Reinha Rosari Larantuka. Disambut dengan Tari Hedung dan Tapu Lele. Mereka menyebrang selat Gonzalu untuk tiba di pusara Frans Lebu Raya. Paket Siaga memilih untuk lebih dahulu berziarah ke makam tokoh politik NTT. Tiba di kediaman Lebu Raya, mereka disambut oleh Haryanto Herman Oro, yang menjaga rumah dan pusara mantan Ketua PDIP dan GMNI NTT itu. Di kediaman mantan gebubernur NTT dua periode ini, dua putra terbaik NTT datang memberi hormat dan meminta restu. Bagi mereka, Frans Lebu Raya adalah sosok yang telah begitu banyak berjasa bagi pembangunan di NTT.
Di depan makam Lebu Raya, Simon Petrus Kamlasi mengatupkan tangan, menunduk dan mendaraskan doa pada nyala lilin di atas Pusara Lebu Raya. Mereka beriktiar agar sebelum berkeliling pulau Adonara, keduanya telah meminta restu pada makam anak sulung politik di Pulau Adonara.
“Bagi kami, Frans Lebu Raya adalah sosok yang tak terpisahkan dalam derap pembangunan dan kehidupan politik di NTT. Sebagai yunior tentu kami menempatkan beliau dalam hati dan pikiran kami. Ada banyak hal yang perlu kami pelajari dan belajar dari sosok yang kami kenal bersahaja itu. Selain itu, saya juga ingin melihat museum yang beliau tinggalkan untuk anak-anak bangsa yang ada di Adonara,” ujar Simon Petrus Kamlasi.
Simon Petrus Kamlasi berkisah bahwa dirinya mengenal Frans Lebu Raya saat menjabat sebagai Kepala Seksi Logistk di Korem 161 Wirasakti Kupang. Sejak itu, dirinya sering bertemu Frans Lebu Raya yang kala itu menjadi Gubernur NTT. Sebagai prajurit, dia mengaku banyak belajar dari sosok politisi NTT itu, bagimana melakukan pendekatan dan diplomasi.
“Saya sering hadir ketika mewakili Pak Danrem untuk beberapa kegiatan. Di situ saya belajar banyak hal dari sosok Pak Lebu Raya, bagaimana dia menyelesaikan persoalan dengan pendekatan yang humanis. Dia sosok yang tenang tapi menghanyutkan. Buah pikirnya dalam membangun NTT selaras dengan apa yang saat ini kami pikirkan untuk membangun NTT kedepan,”ujar Simon Petrus Kamlasi.
Seperti tak kenal lelah, dari Larantuka, Simon Petrus Kamlasi dan Adrianus Garu terbang menuju negeri para Manek, Rote Ndao. Disana mereka disambut dengan hangat, Ti,i Langga di atas kepala dan selimut adat diatas pundak kanan. Ketika tulisan ini diturunkan, Paket SIAGA telah tiba di negeri para Rato. Bumi sejuta kuda, Nusa Sandlewood, Pulau Sumba. Begitulah Simon Petrus Kamlasi dan Adrianus Garu, perpaduan jiwa prajurit dan politisi yang telah mewakafkan diri untuk rakyat NTT. (joey rihi ga)