Jangan Terapkan Politik Dagang Sapi

  • Whatsapp

Kupang, seputar-ntt.com – Dalam dunia politik saat ini, uang menjadi salah satu alat yang digunakan untuk memuluskan jalannya suatu kepentingan. Praktik politik uang atau money politic sering digunakan oleh para elite politic untuk meraup simpati yang besar dari masyarakat kecil.

Persoalan kemiskinan yang dihadapi sebagian masyarakat saat ini, justru menjadi peluang bagi konglomerat politik dalam melancarkan aksi money politic mereka demi sebuah kepentingan. Rakyat bukanlah pelacur yang harus dibayar untuk memuaskan nafsu kepentingan.

Untuk itu, kedewasaan dalam berpolitik sangat dituntut untuk memberikan pendidikan politik, dengan prinsip demokrasi yang sesungguhnya bagi masyarakat.

Demikianlah intisari pernyataan dua akademisi, yang juga analis politik, Dr. Ahmad Atang dari Universitas Muhamadyah dan Dr. Balkis Soraya dari Universitas Nusa Cendana Kupang, pada kesempatan berbeda.

Ahmad Atang menjelaskan,  berdemokrasi sebenarnya membutuhkan kedewasaan. Dalam demokrasi politik,  Rakyat pun harus dituntun untuk berdemokrasi secara baik. Karena,  sebenarnya dalam politik  itu soal persepsi, dalam artian persepsi masyarakat atau publik secara keseluruan terhadap obyek politik yang tampil dalam sebuah ajang atau praktik politik.

Ketika pemilihan umum (Pemilu) legislatif dipandang sebagai sebuah pesta demokrasi, jelas Ahmad Atang, rakyat perlu diberi ruang untuk menyeleksi setiap calon anggota legislatif yang akan menjadi wakilnya kedepan. Itu artinya, rakyat diberi ruang juga untuk memilih dan menentukan calon yang benar-benar bisa memperjuangkan aspirasi serta setiap hal yang menjadi keinginan masyarakat itu sendiri.
Namun, Ahmad Atang menilai bahwa Calon Anggota
Legislatif ideal dalam demokrasi yang benar-benar dibutuhkan rakyat, itu sebenarnya hanyalah sebuah Utopis; atau mimpi. Karena, berdasarkan pengalaman selama ini, setelah pemilihan Anggota DPR, DRPD Provinsi, DPRD Kabupaten, serta DPD, belum secara nyata melahirkan Wakil rakyat yang benar-benar bersinergi dengan rakyat.

Lantas,dimana letak kesalahannya? Ahmad Atang mengemukakan, salah satu yang menjadi kelemahan dalam proses politik saat ini terletak pada pola rekruitmen Calon angggota Legislatif.

”Sekarang ini sebagian besar partai politik merekrut para calon wakil rakyat bukan lagi berlandaskan pada kualitas, integritas serta komitmen kerakyatan, melainkan yang direkrut adalah konglomerat atau orang-orang yang mempunyai banyak uang, serta yang politik,” ungkapnya.

Oleh karena itu, lanjutnya, ketika orang-orang yang banyak uang tersebut terpilih dan menjadi wakil rakyat, maka lazimnya ruang politik bukan lagi dimaknai sebagai sebagai ruang untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat luas, melainkan dimaknai sebagai ruang investasi yang akan mendatangkan keuntungan berlipat ganda.

Persoalan lain yang terjadi saat ini adalah terletak pada sistem politik. Menurut Ahmad Atang, sistem politik yang berkembang saat ini mengarah kepeda sistem proporsional murni. Dalam konteks pemilihan Calon anggota Legislatif, siapapun yang akan menjadi wakil rakyat, bukan terletak pada nomor urut, melainkan pada suara terbanyak.

“Dengan hal tersebut, demokrasi kita justru lebih berbasis individu. Siapa yang lebih bekerja keras maka dia yang akan menang,” katanya.

Dijelaskan Atang, dengan hal ini maka akan terjadi praktek politik panjat pinang. Artinya, jangankan antar kader partai yang berbeda, dengan sesama kader di dalam satu dapil pun akan saling menekan bahkan saling “injak menginjak” karena kepentingan individual lebih dominan. Sehingga akan melahirkan perilaku politik yang tidak ideologis.

“Tidak ideologis, karena memang dilahirkan juga dari sistem pemilu yang sebenarnya sama sekali tidak medidik,” ungkapnya.

Pembantu Rektor Satu (PUREK 1) Universitas Muhamadyah Kupang ini juga menekankan belum ada yang ideal dalam sistem politik di Indonesia saat ini. Bahkan menurutnya, baik sistem politik, maupun sistem partai masih dalam tataran yang keliru, sehingga berakibat pada melahirkan wakil-wakil yang belum sepenuhnya ideal menurut rakyat, maupun menurut pengamatan kritis.

“Sehebat apapun sesorang, bahkan orang yang memiliki idealisme sekalipun, jika masuk ke sistem yang salah, sistem yang tidak berintegritas, maka orang itupun akan menjadi tidak berintegritas, dan pada akhirnya orang-orang itu akan melakukan praktek politik muka dua; ada saatnya dia akan bicara soal rakyat, dan ada saatnya juga dia akan bicara tentang kepentingannya sendiri. Sehingga idealisme tidak akan tumbuh subur dalam sistem yang sudah duluan salah,” tuturnya.

Lantas, ketika orang mengatakan ada politisi busuk, justru sebanarnya yang membuatnya busuk adalah terletak pada sistem; baik sistem partai, sistem pemilu, bahkan sistem politik yang sedang berkembang saat ini di Indonesia.
Menurutnya, yang busuk itu sebenarnya adalah sistemnya tersebut, bukan orangnya. Sehingga, sebut dia, ketika mereka sudah terjebak di dalam sistem yang busuk, maka secara tidak langsung mereka pun bagian dari sistem yang busuk tersebut.

Jika berbicara soal demokrasi, Ahmad Atang justru menganggap Indonesia saat ini sedang mempraktekan sistem demokrasi Bunuh Diri. Dalam hal ini,  Indonesia sedang melakukan penyimpangan dalam demokrasi.

Dijelaskan, Pemilu tahun 2014 ini mestinya menjadi menjadi pemilu yang harus mengakhiri ini semua, dan harus menjadi proses transisi demokrasi. Sehingga, pemilu kali ini harus lebih berkualitas; dalam hal proses penyelenggaraannya, proses rekruitmennya.

“Mestinya saat ini adalah waktu yang tepat, sehingga kita semua bisa mendapatkan para wakil kita yang lebih berkualitas dan berintegritas,” harap Ahmad Atang.

Dijelaskan, rakyat saat ini juga ikut terjebak dengan sistem yang saat ini sedang berlansung. Oleh karena itu, sangat penting untuk upaya penguatan kesadaran sipil masyarakat. Dan itu harus dimulai dengan memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat, sehingga rakyat tidak teranilasi.

Karena, kekuatan sipil justru merupakan sebuah kekuatan negara. Sehingga, ketika adanya kekuatan sipil maka negara tidak menjadi hegemonik, dan rakyatpun akan menjadi kuat dan tidak teranilasi.

Ketidakmampuan masyarakat untuk memahami demokrasi, jelas Ahmad Atang, justru dimanfaatkan para politisi untuk menggiringnya memenuhi kepentingan yang menjadi tujuannya. Padahal dalam demokrasi sesungguhnya kedaulatan terbesar ada di tangan rakyat. “Proses pengebirian terhadap rakyat itu sedang terjadi saat ini,” tegasnya.

Dalam kaitannya dengan politik uang yang marak terjadi saat ini, Ahmad Atang menegaskan, memilih karena uang dan memberi uang untuk dipilih sama-sama jelek. Dan, itu semua bisa dihindari jika dibangun Civil Society yang kuat. Menurutnya, dalam domain civil society ada sebuah pemahaman yang mengatakan ada civil society berarti ada demokrasi, maupun sebaliknya. Sehingga, negara harus diimbangi dengan kekuatan rakyat.

Dia menjelaskan, terkait dengan politik uang yang sering dimainkan oleh sejumlah politisi untuk mendapatkan kekuasaan, semuanya terletak pada budaya politik. Sehingga, munculah pemahaman yang mengatakan bahwa masuk ke dunia politik sebagai investasi. “Ini sebenarnya merupakan budaya politik yang sudah mengakar dalam diri setiap politisi,” tandasnya.

Padahal, kata dia, menjadi anggota DPRD bukanlah tempat untuk meraup keuntungan pribadi, karena pendapatan anggota DPRD hanyalah gaji serta tunjangan yang sudah sangat cukup memadai. Sementara, untuk menjadi anggota DPRD, Politisi yang sering melakukan praktek money politic telah mengeluarkan uang yang cukup banyak hanya untuk kepentingannya. “Akhirnya, untuk mengganti itu semua, yang jadi sasaran ialah proyek dan mitra kerja untuk bisamenutup apa yang sudah dikeluarkan,” ungkapnya.

Dikatakan Ahmad Atang, jika politikus membayar masa dalam rangka menggiring mereka untuk memilih calon tertentu, sebenarnya dapat dikatakan mereka sedang melakukan praktek politik dagang sapi. Rakyat ibarat sekelompok hewan yang sudah dibayar, yang kemudian berpindah tangan dari pemilik kepada yang membayarnya.

Ahmad Atang mengingatkan pada tanggal 9 April mendatang pentingnya memilih dengan berpegang pada prinsip politik yang egaliter, artinya, memilih bukan karena ada unsur keluarga atau karena saudara, apalagi memilih karena dibayar, tetapi memilih karena benar-benar calontersebut berkualitas dan berintegritas, serta punya kapasitas dan kapabilitas.

Jangan Pilih Politisi Busuk

Beberapa pekan terakhir, sejumlah media di kota kupang santer memberitakan tentang aksi penolakan sejumlah elemen masyarakat terhadap politisi yang dianggap selama ini bermasalah baik secara hukum, maupun hubungannya dengan masayarakat. Bahkan, dalam aksi penolakan tersebut mereka secara terang-terangan menghimbau kepada masyarakatNTT agar tidak memilih mereka dalam pemilihan umum legislatif tanggal 9 April mendatang.

Seperti halnya juga yang dilakukan oleh PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) dan LMND (Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi) pun sangat antusias dalam aksi tersebut. Dalam aksi penolakan dua Organisasi Mahasiswa tersebut, mereka bahkan secara terang-terangan menyebutkan nama tiga anggota DPR RI asal NTT yakni; Setya Novanto, Herman Hery, dan Charles Mesang yang dianggap telah membohongi rakyat NTT, serta merusak citra politik dan integritas rakyat NTT di kancah nasional.

Akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Undana Kupang,  Balkis Soraya pun angkat bicara dan menyarankan agar masyarakat tidak memilih politisi busuk,  yang membuat masyarakat seperti halnya pelacur yang dibayar untuk memenuhi kepentingan mereka.
Ia menjelaskan, politik uang itu lazimnya dibuat atau dilakukan oleh para Elite Politik dengan insting politik mereka. Hal tersebut, katanya, dilakukan karena mereka sangat peka dengan kondisi yang dihadapi masyarakat saat ini yang cenderung berada pada ruang lingkup kemiskinan.

“Kemiskinan yang dialami oleh masyarakat justru menjadi peluang bagi segelintir orang, terutama para elit politik untuk memenuhi kepentingannya dengan praktek politik uang atau money politic,” ungkapnya.

Dijelaskan, masyarakat dibuat miskin secara secara struktural dengan kelicikan para politisi busuk. Selain itu, lanjut Balkis Soraya, dengan malfungsi  peran anggota DPR maupun DPRD tentang fungsi kontrol, anggaran, serta legislasi sama sekali tidak berpihak untuk pembangunan yang mensejahterakan  masyarakat, namun mensejahterakan Partai Politik maupun pribadi mereka sendiri.

“Ini menjadi sebuah pendidikan politik yang sangat tidak baik, serta akan menimbulkan ketergantungan masyarakat, terutama masyarakat kelas bawah terhadap uang ataupun materi dalam setiap pelaksanaan pemilu,” tandas Akademisi yang juga aktifis ini.

Untuk menghindari politik uang kata Balkis, harus ada kemauan, kesungguhan dan kesadaran dari seluruh elemen masyarakat atau civil society. Baik Tokoh Agama, para pendidik, pemuda, perempuan, LSM, tokoh, ormas serta parpol harus bersinergi untuk mengawal pelaksanaan pemilu dengan menjadi relawan demokrasi melawan praktek money politic di masyarakat.

“Hal itu juga bisa dimulai dengan memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat untuk tidak memilih politisi karena dibayar. Bahkan, sangat perlu juga untuk mengawal proses atau jalannya pemilu untuk meminimalisir setiap kemungkinan pelanggaran yang akan terjadi, termasuk suap-menyuap terhadap lembaga penyelenggara pemilu,” ujarnya.

Pada intinya Balkis Soraya sekali lagi menekankan perlunya adanya sosialisasi secara terus menerus kepada masyarakat lewat berbagai cara,  untuk tidak memilih politisi busuk yang memanfaatkan rakyat untuk kepentingan mereka yang besar. Serta, lanjutnya, perlu ada juga sanksi politik yang diberikan kepada politisi busuk yang melakukan praktek money politik.
“Ini yang harus menjadi perhatian kita bersama, termasuk media untuk terus memerangi praktek-praktek politik yang tidak mendidik,” pungkasnya.

Sementara itu, rakyat kecilpun sudah sangat paham terhadap permainan yang dilakukan oleh para politisi uang atau politisi yang membayar untuk mendapatkan suara dari masyarakat, terutama masyarakat kecil.

Seperti halnya dua warga yang bermukim di Lasiana, Yohana Sine dan Fredik Haninona. Mereka berdua bahkan secara tegas menyatakan tidak akan memilih para pilitisi ataupun Caleg yang datang membayar mereka untuk memberikan suara.

Yohana Sine, wanita asal Rote yang sehari-harinya bekerja sebagai penjual gula merah ini mengatakan, masyarakat kecil jangan lagi salah memilih para calon anggota legislatif yang akan menjadi wakil mereka nantinya. Menurutnya, dirinya tidak akan memilih para politisi yang melakukan praktek money politic, karena ia menilai ketika politisi tersebut menjadi anggota DPR, DPRD maupun DPD, tanggung jawab terhadap rakyat akan diabaikan.

“Mereka datang bayar kita untuk dukung dong. Pada saat mereka sudah mendapatkan suara dan duduk sebagai wakil rakyat, kita seolah-olah tidak punya hak lagi untuk bertanya tentang apa yang harus mereka buat untuk masyarakat, karena rakyat sudah dibayar. Suara rakyat sudah dibeli,” tutur perempuan 40 tahun ini dengan dialek kupang yang kental.

Oleh karena itu, Yohana Sine juga menghimbau kepada seluruh masyarakat untuk lebih teliti dan jeli dalam memilih wakil rakyatnya. Memilih, kata dia, harus berdasarkan hati nurani dengan melihat figur yang diyakini bisa bekerja untuk rakyat.

Sama halnya dengan Fredik Haninona, pria yang sehari-hari bekerja mengiris tuak. Ia mengatakan, Politisi yang bermain uang dalam pemilu, sama saja sedang melakukan praktek politik yang salah dan tidak mendidik masyarakat. Seperti dengan yang diungkapkan Yohana Sine, Fredik juga berpendapat, jika para politisi memberikan uang kepada masyarakat untuk memilih mereka, sama saja suara rakyat itu dibeli, dan rakyat tidak ada harganya.

Berdasarkan pengalaman yang ada, Fredik pun merasa sudah tidak perlu lagi memilih politisi busuk yang meraup suara dengan membagi-bagikan uang kepada masyarakat. “Sonde perlu pilih dong lagi, karena dong naek ju sonde pernah bikin apa-apa untuk orang kecil (Tidak perlu memilih mereka lagi/Politisi uang, karena ketika mereka naik atau duduk di parlemen juga tidak melakukan apa-apa untuk masyarakat kecil,” kata Fredik dengan dialek khas kupang.

Ia juga menhimbau untuk tidak memilih politisi yang bermasalah, tetapi memilih politisi yang benar-benar bisa memperjuangkan aspirasi masyarakat, dan bekerja untuk masyarakat kecil. +++ Andyos Manu/Debby Mada

Komentar Anda?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *