Kalabahi, seputar-ntt.com – Ini daftar nama anggota DPRD Kabupaten Alor yang menolak mengikuti sidang paripurna penutupan masa persidangan II dan pembukaan masa persidangan III tahun 2020, sesuai surat pernyataan sikap yang ditandatangani bersama antara lain :
1. Ibrahim Nampira (Perindo)
2. Yusak Olang (Hanura)
3. Dony M. Mooy (PSI)
4. Cornelis Serata (Hanura)
5. Ernes The Frinto Makoni (PKB)
6. Lazanus Mapada (Perindo)
7. Azer D. Laopada (Golkar)
8. Maxensius Lelang (Golkar)
9. Alexander (Berkarya)
10. Deni Padabang (NasDem)
11. Simeon F. Hama (NasDem)
12. Marthen L. Blegur (NasDem)
13. Abdul Gani R Jou (PPP)
14. Haji Likur (PKS)
15. Lukas Reyner Atabuy (Demokrat)
Alasan penolakan yang tertuang dalam surat pernyataan sikap tanggal 04 Mei 2020 tersebut berbunyi :
1. Sekretariat DPRD Kabupaten Alor belum menyediakan sarana prasarana pendukung rapat paripurna anggota DPRD Kabupaten Alor secara virtual.
2. Sistem konektivitas jaringan internet yang belum stabil (koneksi buruk) disetiap rumah anggota DPRD Kabupaten Alor.
3. Bertentangan dengan keputusan badan musyawarah DPRD Kabupaten Alor nomor : 05/BAMUS/DPRD/2020 tertanggal 30 April 2020.
Jika point 1 dan 2 belum tersedia dengan baik maka pelaksanaan rapat paripurna dimaksud dilaksanakan sesuai keputusan Bamus DPRD Kabupaten Alor dengan tetap mempedomani Standar Operating Procedur (SOP) penanggulangan pandemi corona virus disease 2019.
Namun dalam sidang paripurna yang digelar Rabu, 6/5/2020 petang menggunakan sistem konektivitas jaringan internet (aplikasi zoom cloud meeting), 3 orang akhirnya memilih mengikuti sidang yakni Lazanus Mapada, Azer D. Laopada dan Maxensius Lelang.
Terkait persoalan ini, pengamat politik NTT, Dr. Ahmad Atang saat dimintai tanggapannya melalui pesan whatsapp, Kamis, 14/5/2020 pagi mengatakan, kasus seperti ini tidak hanya terjadi di Kabupaten Alor, tetapi dapat ditemui juga di daerah lain, dimana problemnya bukan hanya soal jaringan namun juga soal sumber daya manusia.
Selain itu, lanjutnya, ada anggota DPRD yang kurang memahami teknologi, sehingga berpengaruh besar terhadap kemampuan operasional kerja virtual dari rumah.
“Sungguhpun begitu, tidak berarti hal ini menjadi hambatan, namun DPRD perlu mencari pola lain agar agenda parlemen tetap berjalan di tengah covid-19. Model yang pertama yakni paripurna terbatas, dimana kehadiran anggota dewan dibatasi sesuai quorum dengan sistem perwakilan fraksi,” ujar Dr. Atang
Model Kedua menurutnya, jika sidang paripurna pengambilan keputusan dapat dilakukan melalui polling terbuka secara online. Yang Ketiga, jika sidang tersebut dengan agenda pembahasan, maka materi dapat dikirim untuk diberikan koreksi/catatan kritis.
“Ini beberapa model yang ditempat lain telah dipraktik di tengah situasi emergenci ini. Anggota DPRD juga harus memiliki sence of crisis, sehingga tidak perlu memaksakan kehendak, maka pola pertama tersebut di atas bisa digunakan dengan model paripurna terbatas,” tandas Ahmad Atang. (*Pepenk).