Pilkada Lembata, Pemuda Terpinggirkan?

  • Whatsapp

Oleh: Haszbullah Masudin Yamin

SARA- Suku,Agama,Ras dan Golongan merupakan entitas sektoral yg oleh agama dan dunia internasional melarang (HARAM) untuk digunakan dalam pergaulan antar bangsa dunia agar tidak membeda-bedakankan antara satu dengan lainnya.  Namun di dunia politik,, isu SARA telah menjadi HALAL, kehalalan tersebut disebabkan karena sara merupakan “Matematika Politik” dalam percaturan politik kekuasaan..iya,,politik kekuasaan selalu mengajak para aktor politik,bahkan para konsultan politik menganalisa kekuatan politik dengan metode “sara” agar dapat memetakan kekuatan politik,membangun isu, mengatur strategi.
Amerika Serikat (AS) misalnya yang konon katanya sebagai kiblat politik dan demokrasi dunia sering meggunakn metode sara dalam kampanye politik,, mulai dari Obama yang d isukan sebagai seorang muslim,keutrunan afrika,kulit hitam sampai pada calon presiden partai Republik Trump yang mengampenyakan anti islam dan melarang islam masuk ke AS jika ia jadi Presiden Praktek politik di Indonesia baik Nasional maupun lokal (provinsi,kab/kota) hampir mengalami hal yang sama. Kabupaten lembata, menyongsong perhelatan pemilukada kabupaten 2017.
Kalkulasi pasangan calon bupati-wakil bupati menggunakan metode “Sara” terus berhembus. Ile Ape -Kedang, Kedang Ile Ape, Katolik-Muslim, Muslim Katolik, Timur-Barat. Bagi penulis ini hal yang wajar oleh karena metode “sara” digunakan untuk mengukur kekuatan dan memasang strategi. Inilah postulat negara demokrasi! Namun di balik kewajaran metode tersebut, jika terus di gunakan sebagai metode untuk berkompetisi dan kontestasi di arena politik lokal akan sangat berbahaya pada proses pembangunan daerah, selain berdampak pada konsep pembangunan berkelanjutan, yang juga mempengaruhi tujuan dan konsep negara-bangsa, (Nation State yakni negara kesejahteraan welfare state).
Entah Lupa atau memang tidak di perhitungkan, rupanya para aktor politik, pengamat politik, konsultan politik dan masyarakat pada umumnya tidak memasukan analisa kekuatan salah satu etintitas yang memliki ide dan gagasan ,memiliki semangat dan cita-cita yakni “PEMUDA”. Maka konteks pemuda Lembata, dimana posisinya dalam percaturan politik Lembata? Apakah sebagai pengamat ? pelaku? Atau penonton? atau bahkan hanya sebagai “penjilat” yang mendompleng kekuasaan dengan menggadaikan idealisme dan menguburkan intelektualitas?
Soekarno menganalogikan 10 pemuda yang mengguncangkan dunia,maka saya sebagai bagian dari etentitas pemuda yang tak sehebat Soekarno tentu tidak sekedar membutuhkan sepuluh, tetapi ratusan, ribuan, bahkan jutaan pemuda dan seluruh lapisan masyarakat untuk mengambil bagian dalam amanat demokrasi yang selalu menawarkan partisipasi, kompetisi dan kontestasi. Penulis suka jika ajaknnya, “ayo pemuda Islam, ayo pemuda Katolik, pemuda Kedang, pemuda Ile Ape, pemuda Atadei, mari kita bergandengan tangan rapatkan barisan satukan langkah mengambil bagian dari sejarah politik dan pembangunan Lembata”.

Lembata tidak boleh lagi di ukur antara islam dan katolik, bukan antara Kedang dan Ile Ape dan bukan pula antara timur dan barat atau padji dan demong. Pemuda harus menjadi pencetus sejarah perubahan, pemuda harus sebagai trendsetter politik lembata, Pemuda hari ini harus tampil minimal ikut menawarkan gagasan dan ide politik, pertarungan argumen dan kosep pembangunan.
Perbedaan ide, gagasan, kosnsep dan argumen tidak mengharuskan kita untuk saling sentimen, tetapi perbedaan konsep, gagasan, argumen semakin menambah khasanah politik kita. “du chocs des opinions jailit la verite”, (dari benturan berbagai opini muncul sebuah kebenaran). Perbedaan pendapat bila digelar secara jujur dan lugas pasti akan muncul /melahirkan pemikiran yang segar. Lagi-lagi orang Perancis mengatakan “du chocs des idees jailit la lumiere” (benturan berbagai gagasan akan muncul sinar kebenaran). From the shock of ideas springs forth lights.

Hemat saya, setidaknya ada beberapa alasan, mengapa pemuda hari tidak berani tampil untuk berkompetisi dalam kontestasi pemilukada. Pertama, intelektual muda saat ini belum berani mengambil bagian pada pesta demokrasi pemilukada karena prakatek demokrasi dalam pemilihan kepala daerah selalu dibayangi oleh biaya politik yang mahal, (hight cost politc). Pemuda masihtakut akan anekdot bahwa menjadi calon kepala daerah selain memiliki kapasitas dan kapabilitas, tetapi harus juga memiliki “Isi Tas”. Anekdot ini seolah menjadi pembunuh kaum intelektual muda untuk berpolitik, seolah demokrasi adalah “neraka” bagi kaum muda tak berdollar.
Kedua, pemuda terjebak pada arus pragmatisme kekuasaan sehingga sering menggadaikan idealisme dan kemampuan intelektualnya. Pemuda lebih memilih menjadi “budak” yang berada dalam cengkraman kekuasaan walau memiliki potensi intelektual yang cukup memadai. Pemuda masi berposisi sebagai “sindikat” prakter politik barbarian (memangsa sesama). Ketiga, minimnya kesadaran Partai Politik untuk melakukan recruitmen politik terhadap kader muda. Parpol cenderung menempatkan posisi kekuasaan milik pemodal (oppurtunity politic).

Namun, utopia ini menrurut penulis merupakan situasi yang justru mereduksi dan menciptakan kesadaran eksistensial gagasan kepemimpinan muda. Dan Tidak hanya pemuda, partai politik atau segenap elemen pengagum demokrasi tentu dibuat sadar. Dengan ide dan gagasan segar sebagai modal yang melekat pada pemuda, kondisi obyektif semacam ini tentu akan membangkitkan gairah politik pemuda. Sejarah mencatat, perlawanan pemuda selalu dipicu oleh kondisi obyektif sekelilingnya. Dan mereka mampu menciptakan tradisi baru dengan jurus-jurus yang tidak lazim bagi kekuatan dengan tradisi lama yang mengandalkan uang.
Maka penulis mencoba melontarkan sebuah pertanyaan menggelitik bagi pemuda NTT khusus kabupaten/kota yang lagi bersiap menghadapi Pilkada. Akankah unsur pemuda libur lagi dalam hajatan politik 2017? Ataukah masih sebatas berperan sebagai pekerja politik dan bukan pemilik perubahan? Memang libido politik kaum muda di NTT mulai tampak. Tetapi khusus Lembata terkesan masih malu-malu. Kalaupun ada masih sebatas bergerak sektarian dan lebih berorientasi popularitas. Tinggal bagaimana menyatukan gerak dan langkah dalam sebuah komando (minimal dalam sebuah wadah yang tegas garis politiknya). Ini menjadi titik awal kebangkitan dan kemajuan demokrasi pemuda pada momentum politik berikutnya.***
Penulis adalah Aktivis Demokrasi, tinggal di Lembata.

Komentar Anda?

Related posts