Mengurus Guriola, Dari Mone Ama Sampai Deo Ama

  • Whatsapp

Seba, seputar-ntt.com – Siang itu, tepatnya hari Sabtu 9 Agustus 2014, matahari baru saja menyinari bumi sejuta lontar Rabu Raijua, ketika para Mone Ama (Pemangku adat) memasuki lokasi pembangunan embung Guriola di Desa Raenyale Kabupaten Sabu Raijua. Kedatangan mereka ke lokasiĀ  itu adalah untuk melakukan ritual pembangunan embung.

Dua orang tua yang sudah berusia senja ini memakai pakaian adat lengkap. Mereka adalah Polodo dan Bawa Unu Deo. Keduanya adalah Pemangku adat di Kecamatan Sabu Barat dimana lokasi embung guriola sementara dibangun. Saat memasuki lokasi, mulut keduanya tak henti berkomat-kamit seperti sedang merapat mantra bagi para leluhur.

Read More

Pulodo yang telah berusia satu abad ini bernama Radja Tude Mata. Dia adalah salah satu dari pemilik lahan di Guriola. Saat memasuki lokasi dia langsung menanyakan diamana tempat pondasi utama dari Embung Guriola. Bupayi Sabu Raijua, Marthen Dira Tome yang menyambutnya, langsung membawa polodo ke tempat yang ditanyakan.

Kedua Mone ama yakni Polodo dan Bawa Unu Deo ini kemudian mengambil tiga buah batu dan meletakkan di tempat dimana akan dijadikan pondasi utama embung. Setiap batu diletakkan didahuli dengan mantra yang sulit didengar dan hanya terbaca dari gerakan bibir kedua mone ama. “semuanya sudah selesai dan silahkan memulai pekerjaan ini,” kata Raja Tude Mata, usai melakukan ritual.

Dengan suara terbata-bata karena usianya yang kian senja, Raja Tude Mata mengatakan bahwa sebagai Mone ama dirinya telah meminta restu para lelehur bagi pembangunan embung Guriola. Hal ini perlu dilakukan agar dalam pekerjaan tidak ada rintangan dan halangan yang ditemui baik oleh para pekerja maupun alat-alat yang digunakan untuk membangun embung.

“Sebagai Mone ama saya memiliki kewajiban untuk melakukan ritual ini dan sepanjang pembangunan ini memberi manfaat bagi banyak orang maupun anak cucu maka saya wajib melakukan ritual. Ini juga sebagai bentuk dudkungan untuk pembangunan embung ini,” ujarnya.

Usai melakukan ritual kedua Mone ama ini kembali ke tempat mereka. Sebelum menuju lokasi mereka telah mempersembahkan korban bagi para lelhuru berupa anak anjing, kambing, babi dan ayam merah. Darah dari empat binatang ini diyakini mampu membuka pintu restu dari para leluhur yang bersemayam di Ere Janna Ra, Horo Janna Lodo (Diatas Langit Senja Merah Saga).

Sehari sebelumnya Bupati Marthen Dira Tome mendatangi sendiri Mone Ama untuk berbagi pemikiran terkait pembangunan embung Guriola. Dari situlah kemudian para Mone Ama bersedia melakukan ritual untuk pembangunan. “Sebagai pemangku adat maka saya harus melihat kepentingan yang lebih besar. Jangan karena kemauan beberapa orang lalu membuat susah banyak orang,” kata Radja Tude Mata.

Dalam membangun Embung Guriola, tidak hanya ritual yang dilakukan oleh Mone Ama yang masih menganut aliran Jingitiu. Pada sore harinya dilakukan ibadah syukur kepada Deo Ama (Allah Bapa) untuk pembangunan embung. Ibadah syukur ini dihadiri oleh ratusan masyarakat sekitar embung maupun dari beberapa desa tetangga terutama mereka yang senantiasa terkena imbas banjir dari Guriola ketika musim hujan tiba.

Usai Iabdah Syukur, Bupati Sabu Raijua Marthen Dira Tome mengatakan bahwa banyak dinamika yang terjadi ketika Pembangunan embung Guriola dimulai. Padahal pembangunan embung ini sudah lama dinantikan oleh masyarakat, baik yang selama ini kekurangan air maupun oleh mereka yang selama ini senantiasa terkena banjir dari Guriola.

“Banyak orang yang membuat opini diluar tentang pembangunan embung. Banyak ujian yang dihadapi, namun sebagai pemimpin ini adalah sebuah perjalanan yang harus dilewati. Semua cemooh maupun pujian kami anggap sebagai warna lain dari kehidupan sebagai pemimpin,” katanya.

Diakuinya bahwa dalam membangun embung Guriola, pemerintah sudah melakukan pendekatan secara berulang-ulang kepada masyarakat, namun tetap saja ada penolakan. “Kami getol memperjuangkan embung ini karena kondisi kita yang sangat kesulitan air. Untuk menjawab kesulitan ini maka Pembangunan embung merupakan jalan keluar yang harus ditempuh bagimana kita mengubah air mata menjadi mata air,” ungkapnya.

Tak bisa dipungkiri kata Marthen Dira Tome bahwa ada sekelompok orang yang menghendaki pembangunan embung Guriola gagal. Padahal mereka hidup dalam kemewahan dirantau orang sementara orang Sabu yang merasakan sulitnya mendapatkan air. “Ada komunitas yang getol supaya ini gagal, mereka seperti enggan melihat pembangunan. Mereka mau Sabu Raijua dibiarkan tetap menjadi kampung halaman yang kalao mereka berkunjung semua tidak ada perubahan,” ujarnya.

Untuk diketahui, saat ini pembangunan embung Guriola sementara dilakukan. Aktifitasnya pembangunan terlihat dengan banyaknya kendaraan berat yang sementara bekerja. Embung ini bisa menampung air dalam kubikasi yang cukup besar. pembangunan embung ini diharapkan selain sebagai wadah penampung dan penyedia air baku bagi masyarakat yang selalu kesulitan air, juga untuk mengatisipasi banjir bagi masyarakat dibawah lokasi embung. (Joey Rihi Ga)

Komentar Anda?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 comments