Korban Kekerasan Perempuan dan Anak di Kota Kupang Diselesaikan Adat

  • Whatsapp

Kupang, seputar-ntt.com – Isu gender dan anak telah menjadi isu strategis dunia dan nasional, tak terkecuali kota Kupang. Kemajuan teknologi tidak saja memberikan manfaat tetapi juga mengakibatkan meningkatnya kejahatan seksual kepada perempuan dan anak. Kasus tersebut diselesaikan secara adat dan tidak terekspos ke publik.

Data pemberdayaan perempuan setda kota Kupang 2016, terdapat 497 orang mengalami kekerasan fisik. Sebanyak 141 orang menjadi korban kekerasan psikis dan 123 orang korban kekerasan seksual. Sementara, korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sebanyak 3 orang, Korban penelantaran 79 orang serta kasus kekerasan lainnya sebanyak 122 orang.

Hal itu disampaikan Malisye Cristin Sjioen, dari badan penelitian dan pengembangan daerah kota Kupang pada seminar akhir kajian pemahaman masyarakat tentang kesetaraan gender pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di kota Kupang, Jumat (17/11/2017) di hotel Ima Kupang.

“Banyak kekerasan terhadap perempuan dan anak di kota Kupang yang tidak dilaporkan karena perasaan malu korban dan kelurga korban, tekanan psikologis tertentu atau korban merasa nyaman menyelesaikan secara adat. Sehingga tidak sempat terekspos dan didata pemerintah,”katanya.

Kasus kekerasan perempuan dan anak, kata dia, ibarat fenomena gunung es, tampak sedikit dan sepele di permukaan tetapi tersembunyi bahayanya yang maha dasyat. Sehingga penyelesaiannya sangat tergantung dari pemahaman masyarakat yang benar atas konsep kesejahteraan gender, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

“Ada anak terpaksa bekerja dan dipaksa bekerja untuk menggantikan ayah mereka dalam rumah. Kenyataan anak masih mengalami kekerasan sehingga terpaksa tidur di emperan toko. Sementara alokasi anggaran pemerintah untuk peningkatan peran gender sangat terbatas,”ujarnya.

Jakob P Nino, akademisi Undana Kupang selaku ketua tim pengendali mutu kajian kegiatan tersebut, mengatakan bahwa masalah kesejahteraab gender terletak pada konstruksi budaya masyarakat. Kata Jakob, untuk merubah pola pikir masyarakat, diperlukan waktu.

“Kita melarang anak perempuan keluar malam tetapi lelaki tidak. Ini konstruksi budaya sosial. Ini sudah terinternalisasi dalam keluarga,”katanya.

Terkait anak yang berjualan koran di lampu merah, Yakob menilai karena faktor keluarga dan orang tua. Di rumah anak dikatai kasar, dan juga faktor ekonomi keuarga. Dia menyarankan, pemerintah kota Kupang untuk melakukan penertiban.

“Kami sarankan ke walikota untuk operasi malam – malam. Saya lihat di taman – taman Nostalgia malam – malam ada anak main ayunan, jual koran. Dulu ada pol PP yang operasi tetapi ditantang banyak masyarakat. Ini perlu dilakukan penertiban,”ujarnya.

Sementara, Sosiolog Undana Kupang, Balkis Soraya Tanof mengatakan, banyak anak – anak yang terpaksa bekerja memenuhi kebutuhan sehari – hari. Hal itu, terjadi karena disorganisasi sosial, atau melemah nilai norma di tengah masyarakat. Karakter anak bangsa sudah tergerus oleh arus globalisasi, perkembangan teknologi.

“Fungsi proteksi dari keluarga sudah tergerus, oleh nilai – nilai globalisasi. Mendarah daging dari generasi ke generasi, sudah terpola bahwa tugas lelaki mencari nafkah. Harusnya gender itu pembelajaran sosial bukan gender secara biologis. Diperlukan perubahan cara pandang dari masyarakat terhadap posisi dan status lelaki dan perempua. Perubahan peran – peran di dalam keluarga yang bisa lakukan oleh lelaki dan perempuan,”katanya. (Pelipus Libu Heo)

Komentar Anda?

Related posts