Ketika Tuhan Menjadi Tuher

  • Whatsapp

Oleh Marianus Kleden
Dosen FISIP Unwira, Pengampu Mata Kuliah Antropologi Religi

Saya tersentak kaget ketika Emi, seorang teman dosen, mengekspresikan keheranannya dengan, “Aduh, Tuher e”. Secara intuitif saya langsung menangkap gagasan bahwa ‘tuher’ adalah bentuk eufemistik dari Tuhan sebagai mekanisme psikologis untuk menghindari hujat yaitu penghinaan terhadap Tuhan, baik dengan kata maupun tindakan.

Perintah kedua dalam Dekalog (Sepuluh Perintah Allah, Red), “Jangan menyebut nama Allah Tuhanmu tidak dengan hormat”, atas cara tertentu sudah terinternalisasi sepanjang hidup dan membentuk semacam superego dalam pengertian Freudian sehingga orang takut mengucapkan sesuatu yang menghina Tuhan.

Eufemisasi nama Tuhan sebagai teknik penghindaran hujat terjadi praktis di semua bangsa. Seorang remaja Amerika mungkin akan nyerocos dengan interjeksi khas kelompoknya, “Oh, my gosh!” alih-alih “Oh my God!”. Sementara “Oh my God!” masih ditoleransi dalam kadar tertentu, interjeksi lain yang dipandang vulgar dan menyakitkan hati adalah, “Jesus Christ!”.

Bagaimana mungkin pribadi yang begitu dihormati, dijunjung tinggi dan diluhurkan sebagai Tuhan dalam semua denominasi Kristen, lalu menjadi sebuah kata seru dalam situasi dan kondisi yang tidak keruan juntrungnya.

Demikian pula anak-anak dari tradisi Islam akan lebih cenderung menyatakan keheranannya dengan, “Ya illah!” ketimbang “Ya Allah”. Illah adalah sesembahan umum. Ketika diberi kata sandang ‘al’, dan menjadi Al-illah lalu berkontraksi menjadi Allah, maka kata ini menunjuk kepada suatu Wujud Mahatinggi yang mengatasi seluruh makhluk ciptaan dan karena itu tidak boleh disebut secara sembarangan.

Kalau dalam contoh di atas diperlihatkan kecenderungan untuk menghindari penyebutan nama Tuhan secara tidak pantas, maka dalam contoh berikut akan ditunjukkan spontanitas untuk menyebut nama Tuhan demi memohon pertolongannya. Contoh yang paling luas dikenal adalah ketika orang bersin.

Alasannya jelas, bersin adalah tanda pilek atau penyakit ringan lainnya, dan bapak, ibu, kakak, adik atau teman yang duduk tidak jauh dari diri orang yang bersin spontan meminta Tuhan menjaga yang bersangkutan agar terhindar dari penyakit dan diberikan kesehatan yang baik. Di negara-negara penutur Inggris, ucapan “God bless you!” gampang meluncur dari mulut orang yang duduk dekat dengan kita ketika kita, “AaaaaaaChih!”.

Di Indonesia frasa ‘God bless you’ telah diringkas menjadi GBU dan sering dipakai sebagai penutup SMS meskipun orang yang dikirimi pesan singkat tidak sedang bersin-bersin. Di Jerman orang tidak serta merta menyebut Tuhan, tetapi “Gesundheit!” yang berarti “Semoga Anda sehat!”. Bila seruan pertama ini kurang tokcer dan bersinnya berlanjut, maka rumusan ‘doa’ berganti menjadi “Helf Gott!” yang berarti “Tuhan tolong!”.

Di negara-negara Arab ekspresi harapan akan kesehatan juga diungkap dengan cara yang hampir sama. “Sahha!” (ingat bunyinya mirip sehat) adalah reaksi spontan ketika teman Anda bersin. Teman Anda yang plong menjawab, “Shukran!” (mirip syukur, yang berarti terima kasih).

Namun bila si penderita pilek ini merasa terbebas dari sesuatu yang amat mengganjal di dada dan mengucap doa “Alhamdulillah!” sebagai tanda syukur, maka sahabatnya akan menimpali dengan “Yarhamkum Allah” (Semoga Allah berbelas kasih kepadamu), dan dijawab dengan “Yadiikum Allah wa youslah balakum” yang berarti “Semoga Allah membimbingmu dan menghantarmu ke jalan yang benar”.

Di Indonesia doa bertebaran di semua lini, mulai dari ibu yang ketiadaan sepuluh ribu rupiah untuk membeli beras sekilo sampai kepada pejabat berdasi yang melakukan sumpah jabatan.

Dari balik tembok biara yang senyap dan adzan yang mendayu-dayu di puncak masjid hingga ke ruang pesta yang penuh ekstravaganza. Doa bisa merupakan cetusan hati yang getir sampai kepada formalitas protokoler, dari rutinitas rumus-rumus baku sampai kepada spontanitas dalam ‘keluhan yang tak terucapkan’ (Rom.8:26), dari dialog yang amat pribadi dengan Tuhan di kamar tertutup hingga ke KKR yang gegap gempita di lapangan terbuka.

Di manakah kita menghina Tuhan kalau setiap hari hidup kita bermandikan doa? Ternyata seruan “ya Tuhan, ya Tuhan” tidak menjadi jaminan keselamatan (bdk.Mat.7:21), melainkan konsistensi antara kata dan perbuatan. Sebagai contoh saya mengutip sebuah contoh sumpah jabatan yang memang berbentuk doa: Demi Allah saya bersumpah akan memenuhi kewajiban saya sebagai Gubernur …. dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.

Memegang teguh UUD Negara RI 1945 dan menjalankan segala UU dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti pada masyarakat, nusa dan bangsa (huruf tebal dari saya MK). Kalau hidup seorang pejabat publik dijalankan dengan lurus dan dibaktikan kepada masyarakat, maka sumpahnya menjadi doa yang naik ke hadirat Tuhan sebagai asap dupa yang harum mewangi. Tetapi bila hidupnya ditandai dengan keserakahan, nepotisme dan ingat diri, maka sumpah ini menjadi hujat yang sekeji-kejinya. Jadi hujat bukan berarti menyebut Tuher atau Tohor, melainkan tidak mengaktualkan apa yang didoakan dalam perbuatan nyata.

Lalu bagaimana caranya kita menyapa Tuhan atas cara yang pantas dan sopan sehingga tidak terjebak dalam hujat? Gus Dur menjawab dalam sebuah joke yang terpampang di pintu masuk The Wahid Institute.

“Kalau orang Hindu atau Buddha memanggil Tuhan dengan Om, kalau orang Kristen memanggil Tuhan dengan Bapa” Terus Gus, kalau orang Islam memanggil Tuhan dengan apa? Jawab Gus Dur, “Nggak tau tuh, manggilnya aja pake toa”. Bagi kita kesimpulannya amat terang benderang: bukan rumusan doa yang benar yang menyelamatkan, melainkan tindakan dan perbuatan kita. Sebaliknya juga benar, bukan rumusan salah yang menghina Tuhan, melainkan tindakan dan perbuatan kita. Selamat menjalani masa puasa.(*kupang.tribunnews.com)

Komentar Anda?

Related posts