Beberkan Fakta, Ini Nota Pembelaan Dira Tome di Pengadilan Tipikor

  • Whatsapp

Surabaya, seputar-ntt.com – Sidang Kasus Dugaan Korupsi Dana Pendidikan Luar Sekolah (PLS) dengan terdakwa Marthen Dira Tome telah memasuki sidang nota pembelaan atau Pledoi. Dira Tome dalam pembelaannya membeberkan secara gamblang tentang apa yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap dirinya tidak terbuksi secara hukum di pengadilan. Marthen Dira Dira Tome juga mengatakan bahwa JPU terlalu bernafsu menuntut dirinya dan tidak melihat fakta persidangan.

Marthen Dira Tome mengatakan JPU KPK mendakwa dirinya telah melakukan beberapa perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara sebesar Rp. 4.292.378.200,- dengan perincian telah mengalihkan penyaluran dana kegiatan PLS melalui Forum Komunikasi Tenaga Lapangan Dikmas (FKTLD) Provinsi NTT, melakukan pengeluaran anggaran yang seharusnya tidak dikeluarkan dari kas negara, dan melakukan pengadaan barang dan jasa yang bertentangan dengan pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional jo Prosedur Operasional Standar (POS) pelaksanaan program dan anggaran dana dekonsentrasi Dirjen Pendidikan Luar Sekolah  Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2007 dan Kepres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

“Saya didakwa telah memotong uang transport penyelenggara sebesar Rp. 50.000/kelompok untuk diberikan kepada Camat, Kepala Desa/Lurah, Kepala Cabang  Dinas Pendidikan  Kecamatan  sehingga dapat memperkaya Jhon Agustinus Radja Pono sebesar Rp. 3.330.000.000,-. Saya didakwa telah meminta dana operasional kepada Basa Alim Tualeka melalui rekening Simon Dira Tome sehingga memperkaya diri saya sebesar Rp. 390.000.000,-. Saya juga didakwa bersama-sama dengan Thobias Uly, Jhon Agustinus Radja Pono dan Basa Alim Tualeka sehingga telah memperkaya Basa Alim Tualeka sebesar Rp. 572.378.200,-,” kata Dira Tome saat membacakan sendiri Pledoinya pada Senin, (17/7/2017).

Dira Tome menjelaskan Bahwa pembentukan Forum Komunikasi Tenaga Lapangan Dikmas (FK-TLD) di Provinsi NTTtidak berdasarkan kemauan dirinya  sebagai kepala sub-dinas  PLS waktu itu  tetapi bukan juga karena hasil rapat koordinasi kasubdin PLS dan ketua FK-TLD kab/kota di hotel Bahagia II sebagaimana dakwaan jaksa Penuntut Umum KPK,  karena rapat koordinasi yang diselenggarakan di hotel  Bahagia II Soe  hanya mengevaluasi program tahun anggaran 2006  serta merencanakan dan membangun strategi penyelenggaraan program tahun 2007 sekaligus  membahas berbagai kendala  dan  solulsinya.  Ada atau tidak alokasi  dana PLS tahun 2007  tidak berpengaruh terhadap  pembentukan FK-TLD artinya  walaupun dana PLS tidak ada  tetapi FK-TLD  harus dibentuk.

“Bahwa keberadaan  FK-TLD PLS, bukanlah memberikan keuntungan kepada saya atau orang lain atau suatu korporasi, tetapi justru sebaliknya, keberadaan  dan keterlibatan forum ini telah memberikan nilai positif bagi kelancaran dan pengembangan program pendidikan keaksaraan  fungsional di NTT yakni ke rekening penyelenggara/pengelola program PLS  secara tepat waktu. memperlancar proses belajar mengajar Pendidikan Luar Sekolah, jumlah peserta didik yang tergarap  melampaui target yang ditetapkan dalam DIPA, memperlancar dan mempermudah penyaluran dana ke setiap kelompok belajar mengingat kondisi topografi wilayah  NTT yang sangat tidak memungkinkan penyaluran dana tersebut langsung” jelasnya.

Marthen mengatakan, dakwaan Penuntut Umum KPK bahwa dirinya telah memotong uang transport pengelola PLS sebesar Rp. 50.000,- / kelompok/bulan  untuk diberikan kepada CamatCs. adalah merupakan suatu keniscayaan karena dirinya tidak pernah menyuruh ataupun memotivasi para penyelenggara untuk memotong uang transport mereka tetapi hal tersebut merupakan murni kesepakatan bersama para penyelenggara.

“Jika dakwaan Jaksa Penuntut Umum KPK lahir dari pemahaman terhadap lampiran Petunjuk Lapangan Program PLS  tahun 2007 tentang rincian biaya KF tahun 2007 khususnya  pada kolom keterangan transport penyelenggara  dicantumkan atau disebutkan Camat Cs. @ Rp. 50.000.- (berdasarkan kesepakatan) dan JPU-KPK menyimpulkan bahwa saya sebagai terdakwa telah memotong dana transport penyelenggara Rp. 50.000./kelompok/ bulan untuk diserahkan kepada Camat Cs.  Dan telah merugikan negara karena Camat Cs. Bukanlah penyelenggara Progaram PLS, jika demikian maka dapat dipastikan bahwa JPU-KPK  telah terjerumus  dalam pemahaman yang sangat keliru  terhadap tabel rincian biaya. Oleh karena itu adalah sangat keliru kalau menyisihkan  uang transport penyelenggara yang dilakukan  atas kesepakatan bersama para penyelenggara dan dikelola sendiri oleh para penyelenggara lalu dianggap sebagai perbuatan saya selaku Terdakwa yang dapat merugikan keuangan negara,” tegas Bupati Nonaktif Sabu Raijua itu.

Fakta yang terungkap dalam persidangan ungkap Marthen, membuktikan bahwa walaupun telah ada kesepakatan di antara para pengelola untuk menyisihkan  uang transport mereka sebesar Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) per kelompok namun dana tersebut tetap dipegang oleh masing-masing penyelenggara, dana tersebut akan digunakan oleh masing-masing penyelenggara dalam rangka menjamu para Camat Cs. sebagai mana adat dan budaya setempat  bahwa jika ada tamu maka akan dilayani dengan hidangan  berupa  makan minum ringan (mamiri)  seperti teh, kopi, kue atau umbi-umbian, rokok, sirih/pinang  atau dapat dilakukan pengalungan seperti selendang  dan atau dapat pula mengganti uang bensin mereka, tindakan atau cara penyelenggara menjamu/melayani  sangat tergantung pada situasi dan kondisi serta budaya setempat. Apabila kelompok tidak dikunjungi oleh Camat Cs. maka dana tersebut tetap menjadi milik penyelenggara. Hampir seluruh penyelenggara tidak dikunjungi kecuali  sebagaian kelompok di kota kupang.

“Oleh karena itu, ketika Penuntut Umum KPK mempersoalkan uang transport penyelenggara yang dialokasikan untuk mengganti uang transport dari  Camat Cs. yang melakukan kunjungan ke kelompok belajar, diklasifir sebagai suatu perbuatan yang dapat memperkaya John Agustinus Radja Pono sebesar Rp. 3.330.000.000, merupakan suatu kekeliruan yang nyata karena jumlah dana transport Pengelola yang dianggarkan sebesar Rp. 150.000,-/ kelompok /bulan, namun dari jumlah tersebut disepakati oleh para penyelenggara sendiri untuk menyisihkan Rp. 50.000/kelompok/bulan sebagai pengganti uang transport bagi  Camat Cc. yang berkunjung ke kelompok belajar, maka kalaupun tidak ada perkunjungan dari  Camat Cs.  maka uang tersebut sepenuhnya adalah milik para penyelenggara,”terangnya.

Terkait  dakwaan JPU KPK bahwa dirinya sebagai orang yang menelpon Basa Alim Tualeka untuk meminta dana operasional melalui rekening Simon Dira Tome yang adalah adik kandungnya sehingga memperkaya dirinya sebesar Rp. 390.000.000,- adalah sungguh sangat keliru. Fakta persidangan menunjukkan bahwa yang menelpon Basa Alim Tualeka adalah Jhon A. Radja Pono.  Hal ini sesuai dengan kesaksian Basa Alim Tualeka, Simon Dira Tome dan Jhon A. Radja Pono dibawah sumpah Didepan majelis hakim.

Simon Dira Tome adalah salah satu anggota Forum  Komunikasi Tenaga Lapangan Dikmas (FK-TLD) tahun 2007,bertugas sebagai Fasilisator Desa Intensif (FDI) di Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang, dan benar yang bersangkutan adalah adik Kandungnya, namun dalam melaksanakan tugas kedinasan, apapun yang melekat pada diri seseorang, termasuk  kerabat keluarga kandung sekalipun, harus dikesampingkan. Selain itu, Simon Dira Tome adalah juga Ketua Pemuda Jemaat GMIT Betel Maulafa – Kota Kupang yang berperan mengerahkan seluruh pemuda gereja untuk mengatur, mengepak dan mengirim bahan ajar atau buku-buku paket dan ATK tersebut kepda para pengelola di daerah-dareah di seluruh wilayah NTT.

“Oleh karena itu Jhon Radja Pono mengggunakan nomor Rekening Simon Dira Tome untuk Basa Alim Tualeka mentransfer uang tersebut. Bahwa benar, uang yang ditransfer oleh Basa Alim Tualeka ke rekening Simon Dira Tome adalah sebesar  Rp. 390.000.000, namun uang tersebut dipergunakan oleh FK-TLD NTT untuk mengepak dan mengirim bahan ajar atau buku-buku paket dan ATK kepada kelompok sasaran di setiap Kabupaten, Kecamatan, dan ke desa-desa terpencil. Hal tersebut sesuai dengan Kesaksian  Jhon Agustinus Radja Pono, Simon Dira Tome dan Basa Alim Tualeka, dibawah sumpah di depan Majelis Hakim Yang Mulia,” ungkap Marthen.

Marthen Dira Tome mengatakan bahwa dalam dakwaannya, Penuntut Umum KPK berpendapat bahwa dirinya bekerjasama dengan PT. Bintang Ilmu untuk pengadaan buku-buku paket PLS, sementara PT. Bintang Ilmu tidak mampu mencetak buku-buku paket tersebut sehingga PT. Bintang Ilmu memesan buku-buku paket tersebut kepada PT. Indah Jaya Adi Pratama di Bandung dengan mendapat diskon 45 % sehingga memperkaya Basa Alim Tualeka selaku Direktur PT. Bintang Timur sebesar Rp. 572.378.200. Dakwaan tersebut kata Marthen sungguh sangat keliru karena dia tidak pernah berhubungan secara langsung dengan PT. Bintang Ilmu, dia juga tidak pernah mengetahui ada hubungan bisnis antara PT. Bintang Ilmu dengan PT. Indah Jaya Adi Pratama dalam pengadaan atau percetakan buku-buku paket PLS.

Bahwa tentang keterlibatan PT. Bintang Ilmu dalam pengadaan buku-buku paket PLS di Provinsi NTT, berawal dari adanya pertemuan Nasional para Kepala Bidang PLS se Indonesia pada awal tahun 2007 bertempat di Jakarta, dan saat itu Merthen mewakili Dinas Pendidikan dan kebudayaan Provinsi NTT. Pada saat pertemuan tersebut ada beberapa orang staf dari PT Bintang Ilmu, CV. Lubuk Agung, PT. Indah Jaya Adipratama, dan CV. Albama membagikan brosur mengenai percetakan dan jenis-jenis buku yang terkait dengan PLS. Saat itu Marthen menerima brosur tersebut untuk diberikan kepada Panitia Pengadaan untuk dipedomani dalam pengadaan buku karena pada tahun tersebut (2007) buku-buku mengenai kegiatan PLS tidak tersedia di toko buku sehingga informasi tentang penerbitan dan pengadaan buku-buku tersebut sangat penting.

“Setelah saya membawa brosur dari PT. Bintang Ilmu, PT. Indah Jaya Adipratama, CV. Lubuk Agung dan CV. Albama ke Kupang, saya berikan kepada MARTHEN FERDINAN ROBE yang saat itu bertindak sebagai Ketua Panitia Pengadaan dan saya katakan “brosur-brosur ini bisa dijadikan pedoman untuk menghitung Owner Estimate (OE) dalam pengadaan buku PLS Tahun 2007. Oleh karena itu adalah sangat keliru kalau Penuntut Umum KPK melibatkan saya sebagai orang yang telah melakukan perbuatan yang dapat memperkaya Basa Alim Tualeka sebesar Rp. 572.378.200,-, sementara fakta membuktikan bahwa saya tidak pernah terlibat atau melibatkan diri ataupun dilibatkan dalam transaksi bisnis antara PT. Bintang Ilmu dengan PT. Indah Jaya Adi Pratama dalam pengadaan buku paket PLS” ungkapnya.

Secara akal sehat ungkap Marthen Dira Tome, jika saja dirinya memiliki niat buruk untuk memperkaya diri atau orang lain atau koorporasi maka tidaklah mungkin terjadi efisiensi atau penghematan anggaran  misalnya saja pada pengelolaan program dan anggaran Pemberantasan Buta Aksara,  target Pemerintah Pusat  menuntaskan 90.320 orang atau 9.032 kelompok  sementara yang dilaksanakan di Provinsi NTT melampaui target tersebut yaitu 111.000 org atau 11.100 kelompok tanpa merubah atau menambah anggaran.

Dari angka tersebut Lanjut Marthen, terjadi selisih lebih dari target Pemerintah Pusat  yakni 20.680 orang atau 2.068 kelompok,  jika dikaitkan dengan alokasi anggaran per-kelompok  Rp. 2.900.000.- maka  2.068 x Rp. 2.900.000. = Rp. 5.997.200.000.- artinya dari pelaksanaan program tersebut telah terjadi penghematan keuangan nergara sebesar RP. 5.997.200.000. atau menguntungkan rakyat  yang kurang beruntung sejumlah 20.680 orang karena mereka bisa menikmati pendidikan. Demikian juga dengan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun yaitu program paket A setara SD dan Paket B setara SMP, bahwa target pemerintah pusat menuntaskan 21.850 orang sementara dilaksanakan di provinsi NTT mencapai 28.510 orang atau terjadi selisih lebih 6.660 orang dengan efisien anggaran Rp. 3.262.690.000. (tiga milyar dua ratus enam puluh dua juta enam ratus sembilan puluh ribu rupiah), demikian juga dengan program paket C setara SMA  target pemerintah pusat  menuntaskan 926 orang sementara dilaksanakan di provinsi NTT mencapai 2.340 orang terjadi selisih lebih warga belajar 1.414 orang dan efisiensi anggaran sebesar Rp. 962.500.000.-

Dengan demikian total efisiensi keuangan negara dari ketiga program diatas yaitu Program Pemberantasan Buta Aksara, Wajib Belajar Pendidikan Dasar  9 Tahun dan Program Paket C setara SMA  Rp. 10.222.390.000.- (sepuluh milyar dua ratus duapuluh dua juta tiga ratus sembilan puluh ribu rupiah) atau menguntungkan 28.754 orang masyarakat NTT yang kurang beruntung karena kesulitan kehidupan tidak bersekolah (buta huruf), putus sekolah atau putus lanjut (SD, SMP dan SMA) dan mereka kembali mengenyam pendidikan lagi.

“Tidak hanya kesuksesan sebagaimana tersebut diatas yang dialami, tetapi karena program PLS yang lebih mengutamakankegiatan fungsional atau belajar sambil bekerja dengan konteks lokal,  dengan bermodalkan Rp. 500.000.- per kelompok maka telah memicu tumbuhnya embrio usaha ekonomi kecil yang beragam sesuai dengan potensi wilayah masig-masing antara lain usaha hortikultura  seperti usaha Cabe, Tomat, Terong, Jagung dan sayuran lainnya, peternakan ayam buras, ikan air tawar dll. Karena itu tahun 2007 PLS NTT mendapat apresiasi oleh Tim Panja komisi X DPR-RI yang melakukan kunjungan kerja ke wilayah Nusa Tenggara Timur, dan saat itu PLS NTT disebut sebagai Pilot Projec Nasional  bersama Jawa Timur dam Jawa Barat,” kata Marthen.

Marthen mengatakan, Bahwa kemudian Penuntut Umum KPK dalam dakwaannya berdalil bahwa pemotongan uang transport penyelenggara untuk diserahkan kepada  Camat Cs. yang melakukan kunjungan ke kelompok belajar, merupakan suatu perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Perhitungan Kerugian Negara yang dilakukan Ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan Nomor : 05/HP/XI/03/2017, tanggal 3 Maret 2017.

Dia mengatakan Laporan Hasil Pemeriksaan oleh BPK tersebut patut disesalkan, terutama berkaitan dengan status uang transport pengelola yang masih dianggap sebagai uang negara, pada hal ketika para penyelenggara  melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka secara benar maka uang transport tersebut telah menjadi milik penyelenggara  yang harus penyelenggara terima, seperti halnya gaji para Pegawai Negeri Sipil yang diterima setiap bulan, mereka dapat mempergunakan gaji tersebut sesuai kebutuhan mereka.

“Demikian juga uang transport para penyelenggara PLS, setelah mereka terima dan melaksanakan tugasnya maka  uang transport tersebut adalah milik mereka yang dapat digunakan untuk kepentingan transport dan kepentingan lainnya, termasuk kesepakatan menyisihkan   Rp. 50.000,-/perkelompok/bulan untuk menjamu Camat Cs. yang akan berkunjung ke kelompok belajar yang mereka tangani.Kebiasaan menjamu tamu merupakan budaya masyarakat setempat yang harus dilaksanakan dan dilestarikan. Oleh karena itu adalah sangat keliru kalau menyisihkan  uang transport penyelenggara yang dilakukan  atas kesepakatan bersama para penyelenggara dan dikelola sendiri oleh para penyelenggara lalu dianggap sebagai perbuatan dirinya selaku Terdakwa yang dapat merugikan keuangan Negara,” katanya

Mathen juga menyinggung tentang beratnya Dakwaan JPU KPK terhadap dirinya karena tidak mengakui dan tidak pula menyesali perbuatan. Atas tuntutan Penuntut Umum tersebut, Marthen memberikan tanggapan Bahwa apa yang dirinya sampaikan dalam persidangan merupakan pernyataan tentang kebenaran dari posisi kasus yang sesungguhnya dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyangkali apa yang telah didakwakan atau diinginkan oleh Penuntut Umum

“Bahwa apabila keterangan Terdakwa dalam persidangan dianggap sebagai hal-hal yang memberatkan maka Terdakwa kuatir suatu saat orang-rang yang tidak bersalahpun akan mengikuti keinginan Penuntut Umum agar memperoleh tuntutan pidana yang ringan. Padahal pemeriksaan di pengadilan bertujuan untuk memperoleh kebenaran materiil agar  Majelis Hakim Yang Mulia  tidak keliru dalam menjatuhkan putusan bagi pencari keadilan. Namun demikian Terdakwa mempertaruhkan seluruh masa depan dalam tangan Majelis Hakim karena Terdakwa yakin Majelis Hakim akan memberikan keputusan yang sangat obyektif  dan seadil-adilnya,” kata Merthen

Marthen Dira Tome mengatakan Pada awal persidangan perkara ini dirinya menjadi heran mengapa semua orang termasuk harus berdiri untuk menghormati yang mulia ketika yang mulia masuk dan keluar ruang persidangan, dan setelah dirinya duduk di kursi Terdakwa selama kurang lebih tiga bulan, dia baru memahami mengapa demikian? Karena   Hakim adalah satu-satunya profesi di bumi ini yang menjadi wakil Tuhan. Yang mulia sungguh mendapat kewenangan yang luar biasa dari Tuhan dan negara untuk memegang palu keadilan, palu kebenaran dan palu yang dapat memberikan kepastian hukum bagi para pencari keadilan termasuk dirinya.

“Saya yakin, menjadi seorang Hakim bukan hanya karena pilihan hidup, tetapi Tuhanlah yang memilih yang mulia. Oleh karena itu, ditangan Majelis Hakim yang mulia saya dan keluarga  menyandarkan harapan,  karena kami sadar bahwa yang mulia  ibarat  batu karang, dan di dalam persidangan ini menjadi catatan sejarah dalam kehidupan saya dan keluarga. Saya akan menggoreskan cerita ini dengan tinta emas bahwa yang mulia mempunyai pilihan untuk menunjukan bahwa di atas batu karanginilah yang mulia dengan berani menyatakan kebenaran yang hakiki bahwa “saya tidak melakukan tindak pidana korupsi,” Kata Marthen.

Diakhir Nota Pembelaannya, Marthen Dira Tome mohon maaf kepada Majelis Hakim dan Penuntut Umum KPK apabila dalam menyampaikan nota pembelaan pribadi ini telah menyinggung perasaan semuanya. Penyampaian nota pembelaan pribadi ini bukan dimaksudkan untuk menggiring ataupun memaksakan kehendak tetapi dirinya ingin berkata yang sejujurnya.

“Dengan mengutip pendapat seorang Nabi yang juga adalah gembala domba dari Tekoa  yaitu Nabi Amos dalam kitab Torat “ TETAPI BIARLAH KEADILAN BERGULUNG-GULUNG SEPERTI AIR DAN KEBENARAN SEPERTI SUNGAI YANG MENGALIR”  demikian juga  apa yang dikatakan bangsawan Inggris yang juga ahli hukum terkenal yaitu William Murray bahwa “BIARLAH KEADILAN TERLAKSANA MESKI LANGIT RUNTUH saya yakin bahwa pendapat dari dua  ahli di atas adalah juga prinsip hidup yang mulia ketika yang mulia  mengambil keputusan untuk menjadi Hakim,” tutup Marthen. (*jrg)

 

 

 

 

 

Komentar Anda?

Related posts